Cinta - Морган Райс 2 стр.


Caitlin duduk semakin tegak, dan melihat gelas anggur merahnya masih penuh. Ia meneguknya, dan anggur itu menghangatkan dirinya. Ia belum makan selama beberapa waktu, dan anggur itu langsung memengaruhi kepalanya. Ia melihat gelas plastik lain ada di sana, dan ia ingat sopan-santunnya.

"Bolehkan aku menuangkan untukmu?" tanyanya, dengan gugup, "itu, maksudku, aku tidak tahu apakah kau minum—"

Dia tertawa.

"Ya, vampir minum anggur juga," ujarnya dengan sebuah senyum, dan mendekat serta memegang gelas saat ia menuangkan anggur itu.

Ia terkejut. Bukan karena kata-katanya, tapi oleh tawanya. Tawanya lembut, elegan, dan sepertinya menghilang dengan perlahan dalam ruangan itu. Seperti segala sesuatu tentang dirinya, tawanya juga misterius.

Ia memandangi matanya ketika dia mengangkat gelas ke bibirnya, berharap bahwa dia akan balas menatapnya.

Dia melakukannya.

Lalu mereka berdua memalingkan muka pada saat yang sama. Ia merasakan jantungnya berdegup lebih kencang.

Caleb kembali berjalan ke tempatnya, duduk di atas jerami, bersandar, dan menatap Caitlin. Sekarang kelihatannya dia sedang mengamatinya. Ia merasa canggung.

Ia secara tidak sadar meraba-raba pakaiannya, dan berharap ia mengenakan pakaian yang lebih bagus. Benaknya berpacu saat ia mencoba mengingat apa yang ia kenakan. Di suatu tempat sepanjang perjalanan, ia tidak bisa ingat di mana, mereka berhenti sebentar di sebuah kota, dan ia pergi ke satu-satunya toko yang ada—Salvation Army—dan menemukan baju ganti.

Ia menunduk dengan cemas, dan bahkan tidak mengenali dirinya sendiri. Ia mengenakan jins pudar dan koyak, sepatu kets yang satu ukuran terlalu besar untuknya, dan sebuah sweater di atas kaus oblong. Di atas kaus oblong itu, ia mengenakan jaket pudar berwarna ungu kacang, satu kancing hilang, yang juga terlalu besar untuknya. Tapi pakaian itu hangat. Dan sekarang, itulah yang ia butuhkan.

Ia merasa canggung. Mengapa dia melihatnya seperti ini? Itu hanyalah keberuntungannya bahwa pertama kalinya ia menemukan seorang pria yang benar-benar ia sukai, ia bahkan tidak punya kesempatan untuk membuat dirinya terlihat cantik. Tidak ada kamar mandi dalam lumbung ini, dan bahkan jika ada, ia tidak membawa riasan. Ia memalingkan muka lagi, merasa malu.

"Apakah aku tidur dalam waktu yang lama?" tanyanya.

"Aku tidak yakin. Aku sendiri baru saja bangun." ujarnya, bersandar dan membelai tangan melalui rambutnya. "Aku bersantap lebih awal malam ini. Itu membuatku lelah."

Ia memandanginya.

"Jelaskan kepadaku," ujarnya.

Dia menatapnya.

"Minum darah," tambahnya. "Seperti, bagaimana cara kerjanya? Apakah kau...membunuh orang?"

"Tidak, tidak pernah," ujar Caleb.

Ruangan itu menjadi sunyi saat ia berusaha memikirkan sesuatu.

"Seperti semua hal dalam ras vampir, minum darah adalah hal yang rumit," ujarnya. "Itu tergantung pada jenis vampir apa, dan coven mana kau berasal. Jika aku, aku hanya meminum darah hewan. Biasanya, rusa. Toh, rusa kelebihan populasi, dan manusia juga memburunya—dan bahkan tidak untuk dimakan."

Ekspresinya berubah gelap.

"Tapi coven lain tidak sebegitu ramah. Mereka akan menyantap manusia. Biasanya, orang-orang yang tidak diinginkan."

"Orang-orang yang tidak diinginkan?"

"Tuna wisma, gelandangan, pelacur...mereka yang tidak akan diperhatikan. Itulah yang selama ini terjadi. Mereka tidak ingin menarik perhatian terhadap ras mereka.

"Itulah mengapa kami menganggap covenku, jenis vampirku, berdarah murni, dan jenis lain tidak murni. Apa yang kau santap...energinya merasukimu."

Caitlin duduk di sana, berpikir.

"Bagaimana denganku?" Tanyanya.

Dia menatapnya.

"Mengapa aku kadang-kadang ingin meminum darah, tapi tidak yang lainnya?"

Dia mengernyitkan alisnya.

"Aku tidak yakin. Kau berbeda. Kau setengah keturunan. Itu adalah suatu hal yang sangat langka...aku tidak tahu karena kau muncul sesuai usia. Sedangkan yang lain, mereka berubah, dalam semalam. Untukmu, ini adalah sebuah proses. Mungkin memerlukan waktu bagimu untuk berubah, untuk menjalani perubahan apa pun yang kau alami."

Caitlin kembali berpkir dan mengingat sengatan laparnya, bagaimana rasa itu melandanya secara tiba-tiba. Bagaimana rasa itu membuatnya tidak dapat berpikir apa pun selain menyantap. Mengerikan sekali. Ia takut hal itu terjadi lagi.

"Tapi bagaimana aku tahu kapan itu akan terjadi lagi?"

Dia menatapnya. "Kau tidak perlu tahu."

"Tapi aku tidak pernah menginginkan untuk membunuh manusia," ujarnya. "Sama sekali."

"Kau tidak perlu khawatir. Kau bisa minum darah hewan."

"Tapi bagaimanakah jika hal itu terjadi ketika aku terjebah di suatu tempat?"

"Kau harus belajar untuk mengendalikannya. Itu memerlukan latihan. Dan tekad. Itu tidak mudah. Tapi memungkinkan. Kau bisa mengendalikannya. Itu adalah apa yang dijalani setiap vampir."

Caitlin membayangkan tentang seperti apa rasanya terperangkap dan menyantap hewan hidup. Ia tahu ia sudah lebih cepat daripada sebelumnya, tapi ia tidak tahu apakah ia secepat itu. Dan ia tidak tahu sama sekali apa yang harus dilakukan jika ia benar-benar menangkap seekor rusa.

Ia menatapnya.

"Maukah kau mengajariku?" tanyanya, penuh harap.

Dia bertatapan mata dengannya, dan ia bisa merasakan jantungnya berdegup.

"Minum darah adalah suatu hal yang suci dalam ras kami. Itu selalu dilakukan sendirian," ujarnya, lembut dan dengan nada meminta maaf. ":Kecuali..." Dia terdiam.

"Kecuali?" tanyanya.

"Dalam upacara pernikahan. Untuk mengikat suami dan istri.

Dia memalingkan muka, dan ia bisa melihatnya bergerak. Ia merasakan darah mengalir ke pipinya, dan tiba-tiba ruangan itu menjadi sangat hangat.

Ia memutuskan untuk melupakannya. Ia tidak mengalami sengatan rasa lapar sekarang, dan ia bisa menyeberangi jalan itu saat ia mengalaminya. Ia berharap dia akan ada di sisinya pada saat itu.

Selain itu, jauh di lubuk hatinya, ia tidak sungguh-sungguh peduli tentang meminum darah, atau vampir, atau pedang, atau apa pun itu. Yang sangat ingin ia ketahui adalah tentang dia. Atau, sesungguhnya, bagaimana perasaan Caleb terhadapnya. Ada begitu banyak pertanyaan yang ingin ia tanyakan kepadanya. Mengapa kau mempertaruhkan itu semua untukku? Apakah hanya untuk menemukan pedang itu? Atau apakah ada hal lain? Setelah kau menemukan pedangmu, akankah kau masih ada di sampingku? Meskipun cinta dengan seorang manusia itu terlarang, akankah kau menyeberangi batas itu untukku?

Namun ia takut.

Jadi, sebaliknya, ia hanya berkata: "Aku harap kita menemukan pedangmu."

Pengecut, pikirnya. Itukah hal terbaik yang bisa kau lakukan? Tidak bisakah kau mendapatkan keberanian untuk mengatakan apa yang sedang kau pikirkan?

Tapi energinya terlalu besar, dan kapan pun ia ada di dekatnya, energi itu membuatnya sulit untuk berpikir jernih.

"Aku akan melakukannya," jawabnya. "Itu bukan senjata biasa. Pedang itu telah diincar oleh kaum kami selama berabad-abad. Kabarnya pedang itu menjadi contoh pedang Turki terbaik yang pernah dibuat, dibuat dari sebuah logam yang bisa membunuh semua vampir. Dengan pedang itu, kami akan menjadi tidak terkalahkan. Tanpa pedang itu..."

Dia terdiam, tiba-tiba takut menyuarakan akibatnya.

Caitlin berharap Sam ada di sana, berharap dia bisa membantu membimbing mereka kepada ayahnya. Ia mengamati lumbung itu lagi. Ia tidak melihat ada tanda-tanda baru dari Sam. Ia berharap, sekali lagi ia tidak menghilangkan ponselnya dalam perjalanan. Ponsel itu akan membuat hidupnya lebih mudah.

"Sam biasanya selalu pergi ke sini," kata Caitlin. "Aku yakin dia akan datang ke sini. Tapi aku tahu dia kembali kembali ke kota ini—aku yakin sekali. Dia tidak akan pergi ke tempat lain. Besok kita akan pergi ke sekolah, dan aku akan bicara dengan teman-temanku. Aku akan mencari tahu."

Caleb mengangguk. "Kau yakin dia tahu di mana ayahmu berada?" tanyanya.

"Aku...tidak tahu," jawabnya. "Tapi aku tahu bahwa dia mengetahui lebih banyak tentang ayah dibandingkan aku. Dia telah mencoba menemukan ayah dari dulu. Jika ada yang mengetahui apa pun tentang ayah, itu adalah Sam."

Caitlin kembali berpikir dan mengingat saat-saat yang telah ia lalui dengan Sam, dia selalu mencari, menunjukkan petunjuk-petunjuk baru kepadanya, yang selalu mengecewakan. Semua malam dia pergi ke kamarnya dan duduk di pinggir ranjangnya. Keinginannya untuk bertemu ayah mereka sangat luar biasa, seperti sebuah benda hidup di dalam dirinya. Ia juga merasakannya, tapi tidak sebesar Sam. Dalam beberapa hal, kekecewaannya semakin sulit untuk dilihat.

Caitlin memikirkan masa kanak-kanak mereka yang berantakan, dari semua yang telah mereka lewatkan, dan tiba-tiba merasa dilanda emosi. Air mata terbentuk di sudut matanya, dan, merasa malu, ia segera menyekanya, berharap Caleb tidak melihat.

Tapi dia sudah melihatnya. Dia mendongak dan menatapnya, ingin tahu.

Dia berdiri perlahan-lahan dan duduk di sebelahnya. Dia begitu dekat, ia bisa merasakan energinya. Sangat kuat. Jantungnya mulai berdegup.

Dia membelai rambutnya dengan lembut, membalikkan wajah Caitlin. Lalu jarinya membelai sudut matanya, dan kemudian turun ke pipinya.

Ia tetap menundukkan wajahnya, menatap lantai, takut untuk menatap matanya. Ia bisa merasakan mata Caleb mengamatinya.

"Jangan khawatir," katanya, suaranya yang dalam dan lembut membuatnya sangat tenang. "Kita akan menemukan ayahmu. Kita akan melakukannya bersama-sama."

Tapi itu bukanlah apa yang ia khawatirkan. Ia khawatir terhadap dirinya. Caleb. Khawatir saat Caleb akan meninggalkan dirinya.

Jika ia bertatap muka dengannya, ia bertanya-tanya apakah dia akan menciumnya dirinya. Ia sangat ingin merasakan sentuhan bibirnya.

Tapi dia takut untuk memalingkan kepalanya.

Saat itu terasa seperti berjam-jam lamanya sampai ia akhirnya mengumpulkan keberanian untuk mendongak.

Tapi dia telah berpaling. Dia bersandar dengan perlahan di atas rumput kering, matanya terpejam, tertidur, ada sebuah senyum lembut di wajahnya, diterangi oleh cahaya perapian.

Ia merosot lebih dekat dengannya dan berbaring, meletakkan kepalanya beberapa inchi dari bahunya. Mereka hampir bersentuhan.

Dan hampir cukup baginya.

DUA

Caitlin menarik pintu lumbung dan memicingkan mata pada dunia yang diselimuti salju. Cahaya matahari putih memantulkan semuanya. Ia mengangkat tangannya ke arah matanya, merasakan rasa sakit yang tidak pernah ia alami: matanya sangat terasa sakit.

Caleb melangkah keluar di sampingnya, saat dia telah selesai melapisi tangan dan lehernya dengan sebuah bahan tembus pandang yang tipis. Bahan itu hampir seperti pembungkus, tapi nampak menyatu dengan kulitnya ketika dia memakainya. Ia bahkan hampir tidak bisa melihatnya.

"Apa itu?"

"Pelapis kulit," ujarnya, menunduk saat ia membungkus tangan dan bahunya dengan hati-hati sebanyak beberapa kali. "Inilah yang memungkinkan kami pergi keluar dalam cahaya matahari. Jika tidak, kulit kami akan terbakar." Dia memandanginya. "Kau belum membutuhkannya."

"Bagaimana kau tahu?" tanya Caitlin.

"Percayalah kepadaku," ujarnya, menyeringai. "Kau akan tahu."

Dia merogoh sakunya dan mengeluarkan tabung kecil obat tetes mata, menengadah dan meneteskan beberapa tetes pada tiap mata. Dia berpaling dan menatapnya.

Pasti terlihat jelas kalau matanya sakit, karena dia meletakkan tangannya dengan lembut di keningnya. "Tengadahkan kepalamu," ujarnya.

Ia menengadahkan kepalanya.

"Buka matamu," ujarnya.

Saat ia melakukannya, Caleb mengulurkan tangan dan memberikan satu tetesan di tiap mata.

Tetes mata itu sakitnya bukan main, dan ia menutup mata lalu menunduk.

"Aduh," katanya, menyeka matanya. "Kalau kau marah kepadaku, beritahu saja."

Dia tersenyum lebar. "Maaf. Itu terasa seperti terbakar kali pertama, tapi kau akan terbiasa. Kepekaanmu akan hilang dalam beberapa detik."

Ia mengerjap dan menggosok matanya. Akhirnya, ia mendongak, dan matanya terasa lebih baik. Dia benar: semua rasa sakit itu telah hilang.

"Sebagian besar dari kita tidak akan berusaha keluar selama ada sinar matahari bila kami tidak ada keperluan. Kami semua lebih lemah saat siang hari. Tapi kadang-kadang, kami harus melakukannya."

Dia menatap Caitlin.

"Sekolahnya itu," ujarnya. "Jauhkah?"

"Hanya jalan kaki sebentar," ujarnya, meraih lengannya dan menggiringnya melintasi rerumputan bersalju. "Oakville high. Itu adalah sekolahku juga, sampai beberapa minggu yang lalu. Salah satu temanku pasti tahu di mana Sam berada.”

*

Oakville High terlihat sama persis seperti yang Caitlin ingat. Terasa nyata kembali ke sini. Ia mengamati sekolahnya dan merasa seolah-olah ia hanya pergi liburan sebentar, dan sekarang telah kembali ke kehidupan normal. Ia bahkan membiarkan dirinya percaya, selama beberapa detik, bahwa semua peristiwa beberapa minggu yang lalu hanyalah sebuah mimpi yang aneh. Ia membiarkan dirinya berfantasi bahwa semuanya sudah normal lagi, sama seperti sebelumnya. Rasanya bagus juga.

Tapi saat ia berpaling dan melihat Caleb berdiri di sampingnya, ia tahu bahwa tidak satu pun yang normal. Jika ada hal apa pun yang lebih nyata dibandingkan kembali ke sini, itu adalah kembali dengan Caleb di sisinya. Ia akan memasuki sekolah lamanya dengan pria tampan di sisinya, setinggi lebih dari enam kaki, dengan bahu besar yang lebar, berpakaian hitam-hitam, mantel kulit hitam berkerah tinggi memeluk lehernya, menyelinap di bawah rambutnya yang agak panjang. Dia nampak seperti dia baru saja keluar dari sampul salah satu majalah remaja wanita yang populer.

Caitlin membayangkan seperti apa reaksi gadis-gadis lain ketika melihatnya bersama dengan Caleb. Ia tersenyum saat membayangkannya. Ia tidak pernah benar-benar populer, dan pasti tidak ada pria yang sangat memerhatikannya. Ia bukannya tidak populer—ia punya beberapa teman baik—tapi ia hampir ada di pusat kelompok paling populer. Ia menduga ada di suatu tempat di tengah. Meskipun begitu, ia ingat perasaan dicemooh oleh beberapa gadis yang lebih populer, yang nampaknya selalu bersama, berjalan di lorong dengan angkuh, mengabaikan siapa saja yang tidak mereka anggap sama sempurnanya dengan mereka. Sekarang, mungkin, mereka akan memerhatikannya.

Caitlin dan Caleb menaiki undakan dan melalui pintu ganda yang lebar menuju sekolah. Caitlin melirik jam besar itu: 8:30. Sempurna. Kelas pertama baru saja selesai, dan lorong-lorong akan penuh dengan remaja dalam sekejap. Itu akan membuat mereka tidak terlalu mencurigakan. Ia tidak perlu khawatir tentang keamanan, atau kartu pas lorong.

Sekejap kemudian, bel berdering, dan dalam beberapa detik, lorong-lorong mulai dipenuhi remaja.

Hal yang tentang Oakville yaitu tempat itu adalah sebuah dunia terpisah dari sekolah menengah New York yang mengerikan itu. Di sini, bahkan ketika lorong-lorong penuh sesak, masih ada ruang yang cukup untuk bergerak. Jendela kaca besar berjajar di dinding, membiarkan cahaya masuk dan pemandangan langit, dan kau bisa melihat pepohonan di mana pun kau berada. Itu hampir cukup membuatnya merindukan sekolah itu. Hampir.

Ia sudah muak dengan sekolah. Sesungguhnya, ia hanya memerlukan beberapa bulan lagi menuju kelulusan, namun ia merasa seolah-olah ia telah mempelajari lebih banyak dalam beberapa minggu terakhir ini dibandingkan ia duduk dalam kelas selama beberapa bulan lagi dan mendapatkan ijazah resmi. Ia suka belajar, tapi ia sama gembiranya untuk tidak pernah kembali sekolah lagi.

Назад Дальше