Cinta - Морган Райс 4 стр.


Beberapa detik telah berlalu, dan akhirnya, dia memalingkan muka, menyerahkan bong ke salah satu temannya. Dia tetap melihat teman-temannya, mengabaikan Caitin.

"Sam!" hardiknya, lebih keras, wajahnya merona dengan rasa marah. "Aku berbicara kepadamu!"

Ia mendengar suara terkekeh dari teman-teman pecundangnya, dan ia merasakan kemarahan naik dalam gelombang di dalam tubuhnya. Ia mulai merasakan suatu hal lain. Insting hewan. Kemarahan dalam dirinya memancar pada suatu titik di mana itu hampir melampaui kendalinya, dan ia takut bahwa rasa itu segera akan melewati batas. Rasa itu bukan lagi manusia. Rasa itu akan menjadi hewan.

Para laki-laki itu bertubuh besar, namun kekuatan yang naik dalam pembuluhnya memberitahu kepadanya bahwa ia bisa menangani yang mana pun dari mereka dalam sekejap. Ia sudah mengalami peristiwa sulit yang berisikan kemarahannya, dan ia berharap ia menjadi cukup kuat untuk melakukannya.

Pada saat yang sama, Rottweiler itu mengeluarkan geramannya, ketika anjing itu perlahan-lahan berjalan ke arahnya. Seolah-olah anjing itu merasakan sesuatu akan muncul.

Ia merasakan sebuah tangan lembut di bahunya. Caleb. Dia masih ada di sana. Dia pasti telah merasakan kemarahannya timbul, insting hewan di antara mereka. Dia mencoba menenangkan Caitlin, memberitahunya untuk mengendalikan dirinya, tidak membiarkan dirinya lepas kendali. Keberadaannya menenangkan Caitlin. Tapi tidak semudah itu.

Sam akhirnya berpaling dan menatapnya. Ada perbedaan dalam tatapannya. Dia masih marah. Jelas sekali.

"Apa maumu?" bentak Sam.

"Kenapa kau tidak ada di sekolah?" adalah hal pertama yang ia dengarkan dari dirinya sendiri yang berbicara. Ia tidak begitu yakin mengapa ia mengatakan hal itu, khususnya dengan semua hal yang ingin ia tanyakan kepada Sam. Namun insting keibuan dalam dirinya muncul. Dan itulah yang keluar.

Suara terkekeh lagi. Kemarahannya naik.

“Apa yang kau pedulikan?” ujarnya. "Kau mengatakan kepadaku untuk pergi."

"Maafkan aku," ujarnya. "Aku tidak bersungguh-sungguh."

Ia senang memiliki kesempatan untuk mengatakannya.

Tapi nampaknya kata-kata Caitlin tidak menggoyahkannya. Dia hanya menatapnya.

"Sam, aku harus berbicara kepadamu. Berdua saja," kata Caitlin.

Ia ingin mengeluarkannya dari lingkungan itu, menuju ke udara segar, berdua, di mana mereka benar-benar bisa berbicara. Caitlin tidak hanya ingin tahu tentang Ayah mereka; ia juga benar-benar ingin berbicara kepadanya, seperti biasanya. Dan untuk menceritakan kabar tentang Ibu mereka. Dengan hati-hati.

Namun itu tidak akan terjadi. Ia bisa melihatnya sekarang. Semua hal telah berputar-putar ke bawah. Ia merasakan bahwa energi dalam lumbung yang penuh sesak itu terlalu gelap. Terlalu kejam. Ia bisa merasakan dirinya kehilangan kendali. Meskipun ada tangan Caleb, ia tidak bisa menghentikan apa pun yang melandanya.

"Di sini saja," kata Sam.

Ia bisa mendengar suara terkekeh lainnya di antara teman-temannya.

"Kenapa kau tidak santai saja?" salah satu laki-laki berkata kepadanya. "Kau tegang sekali. Duduklah di sini. Hisaplah."

Dia menawarkan bong itu kepadanya.

Ia berpaling dan menatapnya.

"Kenapa kau tidak memasukkan bong itu ke bokongmu?" ia mendengar dirinya berkata, dengan mendesis.

Suara-suara mengejek datang dari kelompok remaja laki-laki itu. "Oh, SIALAN!" salah satu dari mereka berteriak.

Laki-laki yang menawarkan Caitlin untuk menghisap, seorang laki-laki besar dan berotot yang ia tahu telah dikeluarkan dari tim sepak bola, memerah karena marah.

"Apa yang sudah kau katakan padaku?" katanya, berdiri.

Ia mendongak. Dia sangat lebih tinggi dari yang ia ingat, setidaknya 6,6 inchi. Ia bisa merasakan genggaman Caleb di bahunya menjadi lebih keras. Ia tidak tahu apakah itu karena Caleb mendesaknya untuk tetap tenang, atau karena dia marah.

Ketegangan dalam ruangan itu meningkat secara dramatis.

Rottweiler itu merayap lebih dekat. Anjing itu sekarang hanya satu kaki jauhnya. Dan menggeram dengan ganas.

"Jimbo, tenang," ujar Sam kepada laki-laki besar itu.

Itulah Sam yang selalu protektif. Tidak peduli apa pun, Sam melindunginya. "Dia menyebalkan, tapi dia tidak bersungguh-sungguh. Dia masih kakakku. Tenanglah."

“Aku memang bersungguh-sungguh,” Caitlin berteriak, sangat marah. "Kalian kira kalian sangat keren? Membuat adikku teler? Kalian semua adalah sekelompok pecundang. Kalian tidak akan ke mana-mana. Kalian ingin mengacaukan hidup kalian sendiri, silakan, tapi jangan bawa Sam ke dalamnya!"

Jimbo kelihatan semakin marah, jika memungkinkan. Dia mengambil beberapa langkah mengancam ke arahnya.

"Wah, lihat siapa ini. Nona guru. Nona ibu. Ada di sini untuk memberitahu kita apa yang harus dilakukan!"

Serangkaian tawa.

"Kenapa kau dan pacar homomu datang ke sini untuk melawanku!"

Jimbo melangkah lebih dekat dan dengan tangan besarnya, mendorong bahu Caitlin.

Kesalahan besar.

Kemarahan meledak dalam diri Caitlin, melampaui apa pun yang bisa ia kendalikan. Kedua kalinya jari Jimbo menyentuhnya, Caitlin mengulurkan tangan secepat kilat, menyambar pergelangan tangannya, dan memelintirnya. Ada suara gemeretak keras saat pergelangan tangannya patah.

Ia mengangkat pergelangan tangannya tinggi-tinggi di belakang punggungnya, dan melemparkannya, dengan wajah lebih dulu, ke tanah.

Kurang dari sedetik, Jimbo ada di tanah, di atas wajahnya, tidak berdaya. Ia melangkah ke depan dan meletakkan kakinya di belakang lehernya, menahannya dengan kuat di lantai.

Jimbo berteriak kesakitan.

"Tuhan Yesus, pergelangan tanganku, pergelangan tanganku! Cewek sialan! Dia mematahkan pergelangan tanganku!"

Sam berdiri, begitu juga dengan yang lain, melihat dengan terkejut. Dia terlihat sangat terkejut. Bagaimana kakaknya yang bertubuh kecil menjatuhkan seorang laki-laki sebesar itu, dan sangat cepat, Sam punya gagasan.

"Maaf," hardik Caitlin kepada Jimbo. Ia terkejut dengan suaranya sendiri. Suaranya terdengar parau. Seperti seekor hewan.

"Aku minta maaf. Maaf, maaf!" Jim berteriak, merintih.

Caitlin hanya ingin melepaskannya, membiarkannya pergi, tapi sebuah bagian dari dirinya tidak bisa melakukannya. Kemurkaan telah menguasainya sangat tiba-tiba, begitu kuat. Ia tidak bisa membiarkannya pergi. Kemurkaannya masih terus bertambah, semakin meningkat. Ia ingin membunuh laki-laki ini. Itu sudah melampaui nalar, tapi ia memang melampaui nalar.

“Caitlin!?” Sam berteriak. Ia bisa mendengar ketakutan dalam suaranya. "Tolong!"

Namun Caitlin tidak bisa melepaskan dia. Ia benar-benar ingin membunuh laki-laki ini.

Pada saat itu, ia mendengar sebuah geraman, dan dari sudut matanya, ia melihat anjing itu. Anjing itu melompat, giginya mengarah tepat ke leher Caitlin.

Caitlin bereaksi dengan cepat. Ia melepaskan Jimbo dan dalam satu gerakan, menangkap anjing itu di udara. Ia berhasil berada di bawahnya, memegang perutnya, dan melemparkan anjing itu.

Anjing itu terbang melewati udara, sepuluh kaki, dua puluh kaki, dengan kekuatan sebesar itu, anjing itu melintasi ruangan dan menabrak dinding kayu lumbung. Dinding itu patah dengan suara retak, saat anjing itu mendengking dan melayang keluar lumbung.

Semua orang dalam ruangan itu menatap Caitlin. Mereka tidak bisa memahami apa yang baru saja mereka saksikan. Jelas sekali itu adalah perbuatan dengan kekuatan dan kecepatan manusia super, dan tidak ada penjelasan yang memungkinkan tentang itu. Mereka semua berdiri di sana, mulut ternganga, terbelalak.

Caitlin merasa dibanjiri dengan emosi. Marah. Sedih. Ia tidak tahu apa yang ia rasakan, dan ia tidak memercayai dirinya sendiri lagi. Ia tidak bisa berkata-kata. Ia harus keluar dari sana. Ia tahu Sam tidka akan datang. Sekarang, dia adalah orang yang berbeda.

Dan begitu juga dengannya.

TIGA

Caitlin dan Caleb berjalan perlahan-lahan di sepanjang tepian sungai. Sisi sungai Hudson ini terlantar, dipenuhi dengan pabrik-pabrik terbengkalai dan stasiun bahan bakar yang tidak lagi digunakan. Di sini sangat terpencil, tapi damai. Ketika ia mendongak, Caitlin melihat potongan es besar mengambang di sungai, perlahan-lahan terpecah di hari bulan Maret ini. Suaranya retakan yang tajam memenuhi udara. Mereka tampak dunia lain, yang mencerminkan cahaya dalam cara aneh, ketika kabut naik perlahan. Ia merasa seperti baru saja berjalan keluar ke salah satu lembaran besar es, duduk, dan membiarkannya membawanya ke mana pun ia pergi.

Mereka berjalan dalam diam, masing-masing dalam dunia mereka sendiri. Caitlin merasa malu karena ia telah menunjukkan kemarahan seperti itu di hadapan Caleb. Malu karena ia begitu kejam, bahwa ia tidak bisa mengendalikan apa yang terjadi padanya.

Ia juga malu dengan adiknya, karena dia bertingkah seperti yang ia lakukan, bahwa ia bergaul dengan pecundang seperti itu. Ia belum pernah melihat dia bertingkah seperti itu sebelumnya. Ia malu karena telah melibatkan Caleb di dalamnya. Hampir tidak ada cara baginya untuk bertemu keluarganya. Dia menganggap dirinya paling buruk. Yang, lebih dari apa pun, sangat menyakitinya.

Yang paling terburuk, ia takut ke mana mereka akan pergi dari sini. Sam telah menjadi harapan terbaiknya dalam menemukan ayahnya. Ia tidak punya gagasan lain. Jika punya, ia pasti sudah menemukan ayahnya, sendirian, beberapa tahun yang lalu. Ia tidak tahu apa yang harus dikatakan kepada Caleb. Akankah ia pergi sekarang? Tentu saja dia akan pergi. Ia tidak berguna bagi Caleb, dan dia mempunyai pedang untuk ditemukan. Mengapa dia mau tinggal bersamanya?

Ketika mereka berjalan dalam diam, ia merasakan kegelisahan timbul, saat ia menerka bahwa Caleb hanya menunggu waktu yang tepat untuk memilih kata-katanya dengan hati-hati, untuk mengatakan kepadanya bahwa dia harus pergi. Seperti semua orang dalam hidupnya.

"Aku benar-benar minta maaf," ia akhirnya berkata, dengan lembut, "atas bagaimana tindakanku tadi. Aku menyesal aku kehilangan kendali."

"Jangan. Kau tidak melakukan hal yang salah. Kau sedang belajar. Dan kau sangat kuat."

"Aku juga minta maaf karena adikku bertingkah seperti itu."

Dia tersenyum. "Jika ada satu hal yang sudah aku pelajari selama berabad-abad, itu adalah kau tidak bisa mengendalikan keluargamu."

Mereka terus berjalan dalam diam. Caleb memandangi sungai.

"Jadi?" ia akhirnya bertanya. "Sekarang, apa?"

Dia berhenti dan menatap Caitlin.

"Apakah kau akan pergi?" ia bertanya dengan was-was.

Caleb tampak tenggelam dalam pikirannya.

"Bisakah kau memikirkan tempat lain di mana ayahmu mungkin berada? Siapa saja yang mengenalnya? Apa pun?"

Ia sudah mencobanya. Tidak ada apa pun. Sama sekali tidak ada. Caitlin menggelengkan kepalanya.

“Pasti ada sesuatu,” dia berkata dengan empatik. "Berpikirlah lebih keras. Ingatanmu. Tidakkah kau punya ingatan apa pun?"

Caitlin berpikir keras. Ia menutup matanya dan benar-benar menghendaki dirinya untuk ingat. Ia telah bertanya kepada dirinya pertanyaan yang sama, berulang kali. Ia pernah melihat ayahnya, berulang kali, dalam mimpi, yang tidak ia ketahui lagi apakah itu adalah mimpi atau apakah itu kenyataan. Ia bisa menceritakan satu per satu mimpi di mana ia telah berjumpa dengannya, selalu mimpi yang sama, ia berlarian di lapangan, ayahnya ada di kejauhan, kemudian dia semakin menjauh ketika dia mendekat. Tapi itu bukanlah ayahnya. Itu semua hanya mimpi.

Itu adalah kilatan masa lalu, ingatan ketika ia masih anak kecil, pergi ke suatu tempat dengan ayahnya. Entah di mana di saat musim panas, pikirnya. Ia ingat laut. Dan laut itu hangat, sangat hangat. Tapi sekali lagi, ia tidak yakin apakah itu kenyataan. Batasnya semakin lama semakin kabur. Dan Caitlin tidak bisa mengingat dengan baik di mana pantai itu berada.

"Aku sangat menyesal," kata Caitlin. "Aku harap aku punya sesuatu. Jika bukan untukmu, untuk diriku. Aku benar-benar tidak punya. Aku tidak gagasan di mana dia berada. Dan aku tidak punya gagasan bagaimana cara menemukannya."

Caleb berpaling dan menghadap sungai. Dia menghela napas dalam-dalam. Dia menatap es, dan matanya berubah warna sekali lagi, kali ini menjadi abu-abu laut.

Caitlin merasakan waktunya sudah datang. Setiap saat dia akan berpaling padanya dan menyampaikan berita tersebut. Dia akan pergi. Ia tidak lagi berguna baginya.

Ia hampir ingin mengarang sesuatu, suatu kebohongan tentang ayahnya, beberapa petunjuk, hanya supaya dia akan tinggal bersama dengannya. Namun ia tahu, ia tidak bisa melakukannya.

Ia merasa seperti akan menangis.

"Aku tidak mengerti," kata Caleb dengan lembut, masih memandangi sungai. “Aku yakin kau adalah yang terpilih.”

Dia menatap dalam diam. Itu terasa seperti berjam-jam lamanya, saat ia menunggu.

"Dan ada suatu hal lain yang tidak aku pahami," dia akhirnya berkata, dan berpaling lalu menatapnya. Matanya yang besar menghipnotis.

"Aku merasakan sesuatu ketika aku ada di dekatmu. Tidak jelas. Dengan vampir lain, aku selalu bisa melihat kehidupan yang kami alami bersama, semua waktu yang telah kami lalui, dalam jelmaan apa pun. Tapi denganmu... berkabut. Aku tidak melihat apa-apa. Itu tidak pernah terjadi padaku sebelumnya. Itu seolah-olah...aku dicegah untuk melihat sesuatu."

"Mungkin kita tidak pernah mengalami apa pun," jawab Caitlin.

Dia menggelengkan kepalanya.

"Aku akan bisa melihatnya. Denganmu, aku tidak melihat apa pun. Aku juga tidak bisa melihat masa depan kita bersama. Dan itu tidak pernah terjadi padaku. Tidak pernah—dalam 3.000 tahun. Aku merasa seperti...aku mengingatmu entah bagaimana. Aku merasa aku berada di ambang untuk melihat segalanya. Itu ada di ujung benakku. Tapi itu tidak bisa aku lihat. Dan itu membuatku putus asa."

"Yah lalu," Caitlin berkata, "mungkin memang tidak ada apa-apa. Mungkin itu hanya di sini, saat ini. Mungkin tidak pernah ada apa-apa lagi, dan mungkin tidak pernah ada apa pun."

Segera, ia menyesali kata-katanya. Ia melakukannya lagi, menyerocos, mengatakan hal-hal bodoh yang bahkan tidak ia inginkan. Mengapa ia harus berkata seperti itu? Itu adalah sama sekali berlawanan dengan apa yang sedang ia pikirkan, perasaannya. Ia ingin berkata: Ya. Aku merasakannya juga. Aku merasa aku telah bersama denganmu selamanya. Dan aku akan bersama denganmu selamanya. Namun sebaliknya, semua yang ia ucapkan salah. Itu karena ia gugup. Dan sekarang ia tidak bisa menariknya kembali.

Namun Caleb tidak tergoyahkan. Sebaliknya, dia melangkah lebih dekat, mengulurkan satu tangan, dan dengan perlahan meletakkannya di pipinya, menyibakkan rambutnya. Dia menatap lekat-lekat ke dalam matanya, dan melihat matanya berubah lagi, kali ini dari abu-abu menjadi biru. Mata itu menatapnya matanya dalam-dalam. Hubungan itu luar biasa.

Jantungnya berdegup saat ia merasakan panas yang luar biasa menyebar ke seluruh tubuhnya. Ia merasa seolah-olah ia sedang tersesat.

Apakah dia mencoba untuk mengingat? Apakah dia akan mengatakan selamat tinggal?

Ataukah dia akan menciumnya?

EMPAT

Jika ada apa pun yang sangat ia benci ketimbang manusia, itu adalah politisi. Ia tidak bisa tahan dengan sikap mereka, kemunafikan mereka, dan kebenaran mutlak mereka. Ia tidak bisa tahan dengan arogansi mereka. Dan tidak berdasarkan apa-apa. Sebagian besar dari mereka telah hidup hampir 100 tahun. Ia telah hidup lebih dari 5.000 tahun. Ketika mereka membicarakan tentang "pengalaman lampau" mereka, itu membuatnya menderita secara fisik.

Назад Дальше