Perjuangan Para Pahlawan - Морган Райс 2 стр.


Thor telah sampai di tujuannya, di bagian dalam desa yang sedang membersihkan diri ketika ia lewat. Ayam dan anjing berlarian keluar dari jalannya, dan seorang wanita tua yang sedang berada di luar rumah dengan panci berisi air mendidih, mendesis ke arahnya.

“Hati-hati, Nak!” Ia memekik ketika Thor berlari cepat melewatinya, sambil menghalau debu dari apinya.

Namun Thor tak akan melambatkan langkahnya – tidak untuknya, atau siapapun. Ia beralih ke sisi lain jalan, kemudian ke sisi lainnya lagi, berputar dan berbalik ke arah yang diketahuinya untuk sampai ke rumah.

Rumah itu kecil, tak mencolok sebagaimana rumah lainnya, dengan dinding tanah liat putih yang kaku dan atap jerami. Seperti rumah pada umumnya, ada sebuah kamar yang dibagi menjadi dua bagian, ayahnya tidur di satu sisi sedangkan saudara-saudaranya tidur di sisi lainnya; yang tidak biasa adalah rumah itu punya sebuah kandang ayam di belakang, dan di sanalah Thor tidur. Awalnya ia tidur bersama para saudaranya; namun mereka menjadi kejam dan menjaga jarak ketika telah dewasa dan tak memberikan ruang untuknya di dalam kamar. Thor merasa pedih, namun kini ia bisa menikmati ruangannya sendiri, dan lebih suka berada jauh dari mereka. Itu semua merupakan pernyataan bahwa ia terbuang dari keluarga ini, dan ia telah menyadarinya.

Thor berlari menuju pintu depan dan terus berlari hingga masuk ke dalam rumah.

“Ayah!” teriaknya sambil bernafas terengah-engah. “Kesatuan Perak! Mereka datang!”

Ayah dan saudara-saudaranya sedang duduk membungkuk mengelilingi meja untuk sarapan, dan mereka telah memakai pakaian terbaik. Begitu ia selesai berbicara mereka terhenyak dan berderap melewatinya, menyenggol bahunya ketika berlarian ke luar rumah menuju ke jalan.

Thor mengikuti mereka keluar, dan mereka semua berdiri memandangi kaki langit.

“Aku tak melihat siapapun,” Drake, si sulung, menjawab dengan suara berat. Bahunya lebar, rambutnya dipotong pendek seperti saudaranya yang lain, matanya coklat dan tubuhnya kurus, bibirnya seperti orang yang sedang mencibir dan ia menatap Thor dengan marah, seperti biasanya.

“Aku juga tidak,” seru Dross yang berumur satu tahun lebih muda dari Drake dan selalu berada di pihaknya.

“Mereka datang!” balas Thor. “Sungguh!”

Ayahnya berbalik ke arahnya dan mengguncang bahunya dengan keras.

“Bagaimana kau mengetahuinya?” tanya ayahnya.

“Aku melihat mereka.”

“Bagaimana? Dari mana?”

Thor mendadak ragu; ayahnya menangkap basah dirinya. Ia tahu bahwa satu-satunya tempat dimana Thor bisa mengetahui kedatangan para prajurit adalah dari puncak bukit kecil. Kini Thor merasa ragu untuk menjawabnya.

“Aku .. memanjat bukit -“

“Sambil membawa ternak? Kau telah membawa mereka pergi terlalu jauh.”

“Tapi hari ini lain. Aku harus melihat mereka.”

Ayahnya menatapnya dengan marah.

“Sana masuk ke rumah dan ambil pedang kakak-kakakmu dan gosok sarungnya biar mereka kelihatan gagah sebelum Prajurit Kerajaan tiba.”

Seusai berkata-kata, ayahnya berpaling pada kakak-kakaknya yang semuanya sedang memandang ke jalan.

“Apakah Ayah yakin kalau mereka akan memilih kami?” tanya Durs, termuda di antara ketiga saudara, berselisih tiga tahun dari Thor.

“Mereka akan sangat bodoh jika tidak melakukannya,” ujar ayahnya. “Mereka sedang memilih prajurit tahun ini. Ada sedikit pengurangan – atau apapun yang tidak membuat mereka merasa keberatan. Berdiri tegak sajalah kalian bertiga, angkat pipi dan dada kalian. Jangan langsung menatap mata mereka, tapi jangan menghindar. Tampilah kuat dan meyakinkan. Jangan tunjukkan kelemahan. Jika ingin bergabung dengan Legiun Kerajaan, kalian harus tunjukkan seolah kalian sudah pernah melakukannya.”

“Ya, Ayah,” jawab ketiga anak lelakinya serempak, berdiri tegak di posisinya masing-masing.

Ia membalikkan tubuh dan menatap ke arah Thor.

“Apa yang kau lakukan disini?” tanya ayahnya. “Cepat masuk!”

Thor berdiri disana, membalikkan tubuhnya. Ia tak ingin menentang ayahnya, namun ia harus mengatakan sesuatu padanya. Jantungnya berdebar ketika ia ingin membantah. Namun ia memutuskan mematuhi ayahnya, mengambil pedang-pedang para kakaknya, lalu mencoba berdebat dengan ayahnya. Membantah secara terang-terangan jelas ide buruk.

Thor kemudian berlari menuju rumah, pergi menuju ke belakang mengambil pedang di tempat penyimpanannya. Ia menemukan tiga pedang milik kakak-kakak. Semuanya sangat indah dan bermahkotakan gagang perak, hadiah berharga dari ayahnya beberapa tahun lalu. Ia mengambil ketiganya, selalu terkejut seperti biasa karena beratnya dan kembali berlari ke luar rumah.

Ia berlari cepat ke arah ketiga saudaranya, memberikan pedang masing-masing, kemudian membalikkan badan menuju ayahnya.

“Apa ini, kau tidak memolesnya?” kata Drake.

Ayahnya memandang Thor marah, namun sebelum ia mengatakan sesuatu, Thor mendahuluinya.

“Ayah, kumohon. Aku ingin bicara pada Ayah!”

“Sudah kubilang kau harus memoles – “

“Kumohon, Ayah!”

Ayah Thor balas menatapnya. Ia pasti telah melihat keseriusan pada wajah Thor, karena akhirnya ia berkata, “Ada apa?”

“Aku ingin ikut. Aku ingin bergabung dengan Legiun.”

Tawa saudara-saudaranya meledak di belakangnya, membuat wajah Thor menjadi merah.

Tapi ayahnya tidak tertawa; sebaliknya, ia menjadi semakin marah.

“Benarkah?” tanyanya.

Thor mengangguk penuh semangat.

“Aku sudah empat belas tahun, dan aku layak.”

“Batas umurnya memang empat belas tahun,” ujar Drake congkak di belakangnya. “Jika mereka memilihmu, kau akan jadi yang termuda. Apakah kau pikir mereka akan memilihmu dibandingkan aku yang lima tahun lebih tua darimu?”

“Kau memang tidak tahu aturan,” tukas Durs. “Kau selalu begitu.”

Thor membalikkan badan ke arah mereka. “Aku tak bertanya padamu,” katanya.

Ia memandang ayahnya yang masih mengernyitkan kening.

“Ayah, kumohon,” katanya. “Biarkan aku mengikutinya. Hanya itu yang kuminta. Aku tahu aku masih kecil, tapi aku akan membuktikannya.”

Ayahnya menggelengkan kepala.

“Kau bukan prajurit, Nak. Kau tidak seperti saudara-saudaramu. Kau seorang penggembala. Hidupmu di sini bersamaku. Kau akan kerjakan tugasmu dan lakukan semua dengan baik. Jangan bermimpi terlalu tinggi. Terimalah hidupmu dan belajarlah mencintainya.”

Thor merasa hatinya hancur ketika ia melihat hidupnya runtuh di depan matanya.

Tidak, pikirnya. Tidak bisa.

“Tapi Ayah –“

“Diam!” ia berteriak, melengking seperti membelah langit. “Cukup. Itu mereka datang. Minggirlah dan jaga sopan santunmu saat mereka di sini.”

Ayahnya maju ke depan dan dengan satu tangan ditariknya Thor untuk minggir, seakan ia tak ingin melihat Thor. Tangannya yang besar melukai hati Thor.

Sebuah kerumunan besar datang, dan orang-orang pergi keluar dari rumah mereka, berdiri berjajar di tepi jalan. Sekumpulan debu beterbangan mengelilingi kereta, dan saat mereka tiba, selusin kuda penarik kereta bersuara bak halilintar.

Mereka datang ke kota bak prajurit bayangan, berhenti di dekat rumah Thor. Kuda-kuda mereka menghentakkan kaki sambil mendengus. Butuh waktu beberapa saat sebelum akhirnya debu menghilang, dan Thor dengan riang mencoba mengintip baju baja dan senjata mereka. Ia tak pernah sedekat ini dengan Kesatuan Perak, dan hatinya berdebar-debar.

Prajurit yang memimpin pasukan turun dari kudanya. Ia adalah anggota Kesatuan Perak yang sesungguhnya, terbungkus dalam baju zirah berkilauan, pedang panjang di sabuknya. Ia tampak berusia sekitar tiga puluhan tahun, seorang lelaki sejati yang berambut pendek dengan luka di pipi dan hidung bengkok akibat pertempuran. Ia adalah pria bertubuh paling besar yang pernah Thor lihat, dua kali lebih besar daripada lainnya, dengan air muka yang mengatakan bahwa ia adalah pemimpin pasukan itu.

Prajurit itu melangkah di jalanan berlumpur, alas kakinya berdenting saat ia mendekat ke arah barisan bocah lelaki.

Lusinan bocah lelaki itu hilir mudik dan berdiri dengan penuh perhatian dan berharap. Bergabung dengan Kesatuan Perak adalah hidup dengan penghargaan, pertempuran, kemahsyuran – diikuti oleh hadiah tanah, gelar dan kekayaan. Dan dengan itu mereka bisa mendapatkan mempelai perempuan terbaik, tanah terpilih, sebuah hidup dengan kejayaan. Semua juga berarti kehormatan untuk keluargamu, dan masuk menjadi anggota Legiun adalah awalnya.

Thor mengamati kereta besar keemasan itu, dan segera tahu bahwa mereka hanya bisa membawa beberapa orang. Wilayah ini adalah kerajaan yang luas, dan ada banyak kota yang harus mereka datangi. Ia meneguk air ludahnya, menyadari kesempatannya jauh lebih kecil dari yang ia kira. Ia musti mengalahkan semua bocah lelaki – banyak di antara mereka petarung sejati – dan bersama mereka adalah ketiga kakaknya. Ia menjadi putus asa.

Thor merasa sulit bernafas ketika si prajurit melangkah dengan tenang, meneliti kerumunan yang menanti penuh harap. Ia memulainya dengan melangkah di sisi jalan yang lebih jauh, kemudian berjalan mengelilingi mereka perlahan. Thor tentu saja mengenali semua bocah lainnya. Ia juga tahu beberapa dari mereka diam-diam tak ingin terpilih, meskipun keluarga mereka menginginkannya. Mereka takut menjadi prajurit bernasib malang.

Thor merasa terhina. Ia merasa dirinya pantas untuk terpilih seperti lainnya. Hanya karena para kakaknya lebih tua, besar dan kuat bukan berarti dia tak punya hak untuk tampil dan terpilih. Ia terbakar rasa benci pada ayahnya yang hampir saja membakar kulitnya ketika si prajurit mulai mendekat.

Si prajurit berhenti untuk pertama kali di depan para kakaknya. Ia melihat mereka dari atas ke bawah, dan tampak tertarik. Ia merentangkan tangan, meraih salah satu sarung pedang mereka dan merenggutnya, seperti hendak mengetahui seberapa kuat pedang itu.

Senyumnya mengembang.

“Kau belum pernah memakai pedang ini untuk bertarung, bukan?” tanyanya pada Drake.

Thor melihat Drake gugup untuk pertama kali seumur hidupnya. Drake menelan ludah.

“Tidak, Tuan. Tapi saya pernah menggunakannya beberapa kali saat latihan, dan saya berharap untuk – “

“Saat latihan!”

Si prajurit tertawa keras dan membalikkan tubuh ke prajurit lainnya, yang kemudian ikut menertawakan Drake.

Wajah Drake merah padam. Itu adalah pertama kalinya Thor melihat Drake merasa dipermalukan – karena biasanya Drakelah yang mempermalukan orang lain.

“Jadi aku harus mengingatkan musuh untuk takut padamu – yang hanya mengayunkan pedangnya untuk latihan!”

Gerombolan prajurit itu lalu tertawa lagi.

Prajurit itu kemudian berpaling pada kakak Thor lainnya.

“Tiga bocah dari keluarga yang sama,” katanya sambil menggosok cambang di dagunya. “Bisa berguna. Kalian semua punya postur tubuh yang bagus, meski belum tentu layak. Kalian perlu banyak berlatih jika ingin lolos.”

Ia berhenti sejenak.

“Sepertinya masih ada ruang.”

Ia mengangguk ke arah kereta di belakangnya.

“Masuk, dan cepatlah. Sebelum aku berubah pikiran.”

Ketiga kakak Thor berlari cepat ke arah kereta dengan wajah berseri-seri. Thor melihat wajah ayahnya pun turut gembira.

Tapi Thor merasa kecewa ketika melihat mereka pergi.

Si prajurit membalikkan badan dan melangkah menuju rumah berikutnya. Thor merasa tak tahan lagi.

“Tuan!” seru Thor.

Ayahnya membalikkan tubuh dan menatapnya, tapi Thor tak peduli.

Si prajurit menghentikan langkahnya, kemudian memutar punggungnya.

Thor maju dua langkah ke depan, jantungnya berdebar dan memukul-mukul dadanya dengan keras.

“Anda belum mempertimbangkan saya, Tuan,” katanya.

Si prajurit terhenyak, memandangi Thor dari atas ke bawah seakan ia sedang bergurau.

“Benarkah?” tanyanya, dan meledaklah tawanya.

Anak buahnya pun tertawa. Tapi Thor tidak peduli. Sekarang adalah saatnya. Sekarang atau tidak sama sekali.

“Saya ingin bergabung dengan Legiun!” katanya.

Si prajurit melangkah ke hadapan Thor.

“Sekarang?”

Ia tampak geli.

“Bukankah kau belum berumur empat belas tahun?”

“Sudah, Tuan. Dua minggu lalu.”

“Dua minggu lalu!”

Si prajurit terguncang dengan tawanya, demikian pula orang-orang di belakangnya.

“Jadi para musuh kita pastinya menggigil ketakutan begitu melihatmu.”

Thor merasa dirinya terbakar penuh penghinaan. Ia harus melakukan sesuatu. Ia tak bisa membiarkan semua berakhir seperti ini. Si prajurit membalikkan tubuh dan melangkah pergi – namun Thor tak membiarkannya.

Thor melangkah ke depan dan berteriak : “Tuan! Anda membuat suatu kesalahan!”

Kerumunan orang itu menarik nafas ketakutan, ketika si prajurit berhenti dan membalikkan tubuhnya perlahan sekali lagi.

Kali ini ia tampak marah.

“Anak tolol,” kata ayahnya sambil menarik bahu Thor, “sana cepat masuk!”

“Tidak mau!” seru Thor, sambil melepaskan diri dari cengkeraman ayahnya.

Si prajurit maju ke arah Thor, sementara ayahnya mengambil langkah mundur.

“Tahukah kau apa hukuman akibat mengganggu Kesatuan Perak?” bentak si prajurit.

Jantung Thor seakan berhenti berdetak, tapi ia tak bisa mundur.

“Maafkanlah dia, Tuan,” kata ayahnya. “Ia masih muda dan – “

“Aku tak berbicara padamu,” kata si prajurit. Dengan tatapan tajam, ia memaksa ayah Thor untuk diam.

Si prajurit berpaling pada Thor.

“Jawab!” bentaknya.

Thor menelan ludah, tak dapat berkata-kata. Ini bukanlah sesuatu yang ia bayangkan.

“Mengganggu Kesatuan Perak sama saja dengan menganggu Raja,” ucap Thor lemah, mengulang apa yang ia pelajari melalui ingatannya.

“Ya,” kata si prajurit. “Dan itu berarti aku bisa mencambukmu empat puluh kali jika kumau.”

“Saya tak bermaksud mengganggu, Tuan,” kata Thor. “Saya hanya ingin terpilih. Saya mohon. Saya telah memimpikan ini seumur hidup saya. Tolonglah. Biarkan saya bergabung dengan Anda.”

Si prajurit memandang wajahnya, dan perlahan air mukanya melunak. Setelah beberapa saat, ia menggelengkan kepalanya.

“Kau masih kecil. Kau memang berani. Tapi kau belum siap. Kembalilah pada kami saat kau sudah besar.”

Sesudah itu ia berbalik dan melangkah pergi, beralih ke bocah lelaki lainnya. Kemudian ia menghela kudanya dengan cepat.

Thor yang kecewa memandangi setiap gerakan kereta, yang pergi secepat mereka datang.

Terakhir Thor melihat para saudaranya, duduk di bagian belakang kereta, memandanginya dengan kejam dan mencibir. Mereka telah dibawa pergi jauh dari sini menuju kehidupan yang lebih baik.

Di dalam hati, Thor merasa telah mati.

Seketika keriangan di sekitarnya menghilang, warga desa pulang menuju rumahnya.

“Tahukah betapa dungunya kau, anak tolol?” bentak ayah Thor, mengguncang bahunya. “ Apakah kau tahu kau bisa mengacaukan peluang kakak-kakakmu?”

Thor berusaha melepaskan diri dari tangan ayahnya, yang kemudian mencengkeramnya kembali dan menamparnya.

Thor merasa marah dan balas menatap ayahnya. Untuk pertama kalinya ia ingin memukul ayahnya, namun ia menahan diri.

“Ambil domba-dombaku dan bawa mereka pulang. Sekarang! Dan saat kau kembali, jangan berharap ada makanan dariku. Malam ini kau tidak boleh makan, dan pikirkan kembali perbuatanmu.”

“Aku mungkin tidak akan kembali kemari!” Thor berseru sambil membalikkan tubuhnya dan berlari, menjauh dari rumahnya menuju perbukitan.

“Thor!” seru ayahnya. Beberapa penduduk yang lewat berhenti dan melihat mereka.

Thor berlari kecil, lalu lebih cepat, ingin pergi sejauh mungkin dari tempat ini. Ia tahu ia sedang menangis, air mata membasahi wajahnya, ketika semua mimpinya hancur berantakan.

Назад Дальше