Takdir Naga - Морган Райс 2 стр.


Kelompok Kesatuan Perak itu menurunkan senjata-senjata mereka dengan perlahan dan enggan ketika Kendrick berbalik kembali kepada Darloc. Kendrick melangkah maju dan berjalan bersama Darloc menuju pintu, Pengawal Raja mengelilinginya. Kendrick berjalan tegak dengan bangga, di tengah-tengah mereka. Darloc tidak mencoba untuk membelenggunya - mungkin karena rasa hormat, atau takut, atau karena Darloc tahu ia tidak bersalah. Kendrick akan membimbing dirinya ke penjara barunya. Tapi ia tidak akan menyerah dengan mudah. Entah bagaimana ia akan membersihkan namanya, membuat dirinya bebas dari penjara bawah tanah - dan membunuh pembunuh ayahnya. Bahkan jika itu adalah saudaranya sendiri.

BAB TIGA

Gwendolyn berdiri di dalam perut kastil, kakaknya Godfrey di sampingnya, dan memandangi Steffen saat dia berdiri di sana, bergerak-gerak, memilin tangannya. Dia merupakan seseorang berkarakter aneh - tidak hanya karena ia cacat, punggungnya bengkok dan bungkuk, tapi juga karena dia nampaknya dibanjiri dengan energi kegelisahan. Matanya tidak pernah berhenti bergerak-gerak, dan tangannya menggenggam satu sama lain seolah-olah sedang didera rasa bersalah. Dia membatu di tempatnya berdiri, berpindah dari satu kaki ke kaki lain, dan bergumam kepada dirinya sendiri dengan suara yang dalam. Bertahun-tahun berada di sini, Gwen membayangkan, bertahun-tahun terisolasi jelas sekali menempa dirinya menjadi karakter aneh.

Gwen menunggu dengan antisipasi supaya dia pada akhirnya akan terbuka, mengungkapkan apa yang terjadi pada ayahnya. Tapi ketika detik-detik berubah menjadi menit, saat keringat muncul di alis Steffen, saat ia berdiam diri bahkan lebih dramatis, tidak ada yang terjadi. Tetap ada keheningan yang berat, diselingi dengan suara senandungnya.

Gwen mulai berkeringat juga di tempat ini, derak api dari lubang-lubang terlalu dekat pada hari musim panas ini. Ia ingin menyelesaikan hal ini, meninggalkan tempat ini - dan tidak pernah kembali ke sini lagi. Ia mencermati Steffen, mencoba menguraikan ekspresinya, untuk mencari tahu apa yang melintas dalam pikirannya. Dia telah berjanji untuk mengatakan sesuatu kepada mereka, tetapi sekarang dia membisu. Saat Gwen mencermatinya, dia nampaknya mempunyai gagasan cadangan. Jelas sekali, dia takut; dia menyembunyikan sesuatu.

Akhirnya Steffen berdeham.

"Sesuatu jatuh dari saluran malam itu, saya mengakuinya," dia memulai, tanpa membuat kontak mata, melihat ke suatu tempat di lantai, "tapi saya tidak yakin apa itu. Benda itu sebuah logam. Kami mengeluarkan pispot malam itu, dan saya mendengar sesuatu terjatuh ke dalam sungai. Sesuatu yang berbeda. Jadi," ujarnya, berdeham beberapa kali sembari memilin tangannya, " kau tahu, apapun itu, benda itu hanyut, ke dalam arus.

"Apa kau yakin?" tuntut Godfrey.

Steffen mengangguk penuh semangat.

Gwen dan Godfrey bertukar pandang.

"Apa kau melihatnya, meski hanya sedikit?" tekan Godfrey.

Steffen menggelengkan kepalanya.

"Tapi kau menyebutkan tentang sebilah belati. Bagaimana kau tahu itu adalah sebuah belati jika kau tidak melihatnya?" tanya Gwen. Ia merasa yakin dia berbohong, ia hanya tidak tahu mengapa.

Steffen berdeham.

"Saya berkata demikian karena saya hanya berasumsi bahwa itu adalah sebuah belati," jawabnya. "Benda itu kecil dan terbuat dari logam. Apa lagi kalau bukan belati?"

"Tapi apakah kau memeriksa dasar jambang?" tanya Godfrey. "Setelah kau membuangnya? Mungkin benda itu masih di dalam jambang, di dasarnya."

Steffen menggelengkan kepalanya.

"Saya memeriksa bagian dasar," ujarnya. "Saya selalu melakukannya. Tidak ada apa-apa. Kosong. Apapun itu, benda itu telah hanyut. Aku melihatnya mengambang hanyut."

"Jika benda itu adalah logam, bagaimna bisa mengapung?" tanya Gwen.

Steffen berdeham lagi, lalu mengangkat bahu.

"Sungai itu misterius," jawabnya. "Arusnya kuat sekali."

Gwen bertukar pandangan skeptis dengan Godfrey, dan ia bisa mengatakan dari ekspresinya bahwa Godfrey juga tidak memercayai Steffen.

Gwen mulai semakin tidak sabar. Sekarang, ia juga kebingungan. Hanya beberapa saat sebelumnya, Steffen akan mengatakan kepada mereka semuanya, seperti yang telah dia janjikan. Tapi nampaknya dia seolah-olah tiba-tiba berubah pikiran.

Gwen mengambil langkah lebih dekat dengan dia dan mengerutkan dahi, merasakan bahwa pria ini mempunyai sesuatu yang disembunyikan. Ia menunjukkan wajahnya yang paling berani, dan ketika ia melakukannya kekuatan ayahnya membanjiri dirinya. Ia memutuskan untuk menguak apapun yang dia ketahui - khususnya jika itu dapat membantunya menemukan pembunuh ayahnya.

"Kau bohong," ujarnya, suaranya sedingin baja, kekuatan di dalamnya bahkan membuatnya terkejut. "Apa kau tahu hukuman apa karena berbohong kepada seorang anggota keluarga kerajaan?"

Steffen memilin-milin tangannya dan hampir terikat pada tempatnya, mendongak menatapnya sejenak, lalu cepat-cepat berpaling.

"Maafkan saya," ujarnya. "Maaf. Tolonglah, saya tidak punya apa-apa lagi untuk dikatakan."

"Kau bertanya pada kamu tadi, apakah kau akan terhindar dari penjara jika kau mengatakan kepada kami apa yang kau ketahui," kata Gwen. "Tapi kau tidak mengatakan hal yang berguna kepada kami. Mengapa kau menanyakan hal itu jika kau tidak punya apa-apa untuk dikatakan pada kami?"

Steffen menjilat bibirnya, menatap ke lantai.

"Saya... saya...mm," ia memulai tapi kemudian berhenti. Dia berdeham. "Saya khawatir...saya akan mendapatkan masalah karena tidak melaporkan bahwa sebuah benda jatuh dari saluran. Itu saja. Maaf. Saya tidak tahu apa itu. Benda itu sudah hilang."

Gwen menyipitkan matanya, menatapnya, mencoba mencapai ke dasar karakternya yang aneh.

"Apa yang terjadi dengan majikanmu, tepatnya?" tanyanya, tidak membiarkannya keluar dari pancingan. "Kami diberitahu bahwa dia menghilang. Dan bahwa kau ada kaitannya dengan hal itu."

Steffen menggelengkan kepalanya lagi dan lagi.

"Dia pergi," jawab Steffen. "Itu saja yang saya ketahui. Maaf. Aku tidak tahu sesuatu yang bisa membantu Anda."

Tiba-tiba muncul sura berdesis keras dari seberang ruangan, dan mereka semua berpaling untuk melihat kotoran turun dari saluran, dan mendarat dengan sebuah percikan dalam pispot raksasa. Steffen berbalik dan berlari ke seberang ruangan, segera menuju jamban itu. Dia berdiri di samping jamban, mengamati jamban itu terisi kotoran dari ruangan di lantai atas.

Gwen berpaling dan menatap Godfrey, yang balas menatapnya juga. Dia menunjukkan ekspresi yang sama bingungnya.

"Apapun yang dia sembunyikan," ujarnya, "tidak akan dia ungkapkan."

"Kita bisa membuatnya dipenjara," ujar Godfrey. "Itu mungkin bisa membuatnya bicara."

Gwen menggelengkan kepalanya.

"Aku tidak berpikir demikian. Tidak dengan yang satu ini. Dia tentu saja sangat ketakutan. Aku rasa itu ada kaitannya dengan majikannya. Dia jelas-jelas tersiksa tentang sesuatu, dan aku tidak merasa itu ada kaitannya dengan kematian ayah. Aku rasa dia tahu sesuatu yang mungkin membantu kita - tapi aku merasakan bahwa memerhatikannya hanya akan membuat dia tutup mulut."

"Jadi apa yang harus kita lakukan?" tanya Godfrey.

Gwen berdiri di sana, berpikir. Ia ingat pada temannya, ketika ia masih kecil, yang saat itu ketahuan berbohong. Ia ingat orang tuanya menekannya dengan cara apapun agar dia mengatakan yang sebenarnya, tapi dia tetap tidak mau. Hanya beberapa minggu kemudian, ketika semua orang akhirnya membiarkan dia, dia melangkah maju dengan sukarela dan membeberkan segalanya. Gwen merasakan energi yang sama datang dari Steffen, bahwa membuatnya terpojok akan membuat dia tutup mulut, bahwa dia membutuhkan ruang untuk datang dengan sendirinya.

"Mari kita beri dia waktu," ujarnya. "Mari kita cari di tempat lain. Mari kita lihat apa yang bisa kita temukan, dan berputar kembali pada dia ketika kita punya hal lain. Aku rasa dia akan berbicara. Dia hanya belum siap."

Gwen berpaling dan memandanginya, di seberang ruangan itu, memeriksa kotoran yang memenuhi belanga. Ia merasa yakin bahwa dia akan mengarahkan mereka menuju pembunuh ayahnya. Ia hanya tidak tahu bagaimana. Ia bertanya-tanya rahasia apa yang tersembunyi dalam lubuk pikirannya.

Dia mempunyai karakter yang sangat aneh, pikir Gwen. Benar-benar sangat aneh.

BAB EMPAT

Thor mencoba untuk bernapas saat ia mengedipkan kembali air yang menyelubungi matanya, hidungnya, mulutnya, tumpah ruah ke sekujur tubuhnya. Setelah tergelincir melintasi perahu, ia akhirnya berhasil mencengkram susuran kayu, dan ia bergelayut pada kayu itu dengan erat saat air tanpa henti menyiram genggamannya. Setiap otot tubuhnya bergetar, dan ia tidak tahu berapa lama lagi ia dapat bertahan.

Semua saudara-saudaranya di sekelilingnya melakukan hal yang sama, bergelayut erat pada apapun yang mereka bisa temukan saat air mencoba untuk menyeret mereka keluar dari perahu. Entah bagaimana, mereka bisa bertahan.

Suara itu memekakkan telinga, dan sulit untuk melihat lebih dari beberapa kaki di depannya. Meskipun musim panas, hujan itu terasa dingin, dan air itu mengirimkan hawa dingin ke seluruh tubuhnya yang tidak bisa ia goyangkan. Kolk berdiri di sana, merengut, berkacak pingang seolah-olah ia kebal dengan dinding hujan, dan membentak semua yang ada di sekelilingnya.

"KEMBALI KE TEMPAT DUDUKMU!" teriaknya. "DAYUNG!"

Kolk sendiri duduk dan mulai mendayung, dan dalam beberapa saat para remaja laki-laki itu tergelincir dan merangkak melintasi dek, mengarah kembali ke tempat duduk. Jantung Thor berdegup ketika ia melepaskan diri, dan berusaha menyeberangi dek. Krohn, di dalam bajunya, mendengking, saat Thor terpeleset kemudian jatuh, mendarat dengan keras di dek.

Ia merangkak di sisa jalannya, dan segera menemukan dirinya kembali di tempat duduknya.

"IKAT DIRIMU!" teriak Kolk.

Thor menunduk dan melihat tali simpul di bawah bangkunya, dan akhirnya menyadari untuk apa tali itu: ia mengulurkan tangan dan menalikan salah satunya di sekitar pergelangan tangannya, mengikatkan diri ke bangku dan dayung.

Berhasil. Ia berhenti terpeleset. Dan segera, ia dapat mendayung.

Di sekelilingnya para pemuda kembali mendayung, Reece mengambil kursi di depannya, dan Thor bisa merasakan perahu bergerak. Dalam beberapa menit, dinding hujan lebih ringan di depan sana.

Saat ia mendayung dan terus mendayung, kulitnya terbakar akibat hujan aneh ini, setiap otot dalam tubuhnya nyeri, akhirnya suara hujan mulai mereda, dan Thor mulai merasakan lebih sedikit air yang mengguyur kepalanya. Dalam beberapa saat kemudian, mereka memasuki langit yang cerah.

Thor memandang ke sekeliling, terkejut: tempat itu benar-benar kering dan cerah. Itu adalah hal teraneh yang pernah ia alami: setengah perahu berada di bawah matahari yang bersinar dan kering, sementara setengah yang lain terguyur pada saat mereka selesai melewati dinding hujan.

Akhirnya, seluruh perahu berada di bawah langit cerah biru dan kuning, mentari hangat yang terik di atas mereka. Saat itu sunyi, dinding hujan hilang dengan cepat, dan semua saudara seperjuangannya melihat satu sama lain, terpana. Seolah-olah mereka telah melewati sebuah tirai, ke alam lain.

"TERUSKAN!" teriak Kolk.

Semua pemuda di sekeliling Thor mengayuh dayung mereka dengan rintihan dan napas mereka yang terengah-engah. Thor melakukan hal yang sama, merasakan setiap otot dalam tubuhnya gemetar dan bersyukur dapat beristirahat. Ia menelungkup, terengah-engah dan mencoba untuk mengendurkan otot yang sakit saat perahu mereka meluncur menuju perairan yang baru.

Thor akhirnya menguasai dirinya kembali lalu berdiri dan melihat sekeliling. Ia menunduk menatap air, dan melihat bahwa air itu telah berubah warna: air itu sekarang bercahaya, bersinar kemerahan. Mereka telah memasuki lautan yang berbeda.

"Lautan Para Naga," kata Reece, di sampingnya, juga memandang ke bawah dengan heran. "Mereka mengatakan air itu berwarna merah karena darah dari para korbannya."

Thor menunduk menatap air itu. Lautan itu bergelembung di beberapa tempat, dan di kejauhan, monster aneh muncul dari air untuk sesaat, kemudian tenggelam. Tidak ada bertahan cukup lama untuk dapat melihat monster itu dengan baik, tapi ia tidak ingin mencoba peruntungannya dan menunduk lebih dekat.

Thor berpaling dan melihat semuanya, ia bingung. Semua yang ada di sini, di sisi dinding hujan itu, nampak sangat asing, begitu berbeda. Bahkan ada kabut merah tipis di udara, melayang rendah di atas air. Ia mencari-cari di cakrawala dan menemukan lusinan pulau kecil yang tersebar, seperti anak tangga batu di cakrawala.

Angin kencang melanda dan Kolk melangkah maju lalu membentak:

"NAIKKAN LAYAR!"

Thor segera melakukannya bersama semua pemuda di sekelilingnya, meraih tali, dan mengibarkannya agar terbawa embusan angin Layar terbentang dan embusan angin membawa mereka. Thor merasakan perahu bergerak di bawah mereka lebih cepat dari yang pernah ia rasakan, dan mereka mengarah menuju pulau. Perahu terperangkap di gelombang raksasa yang bergulung, yang muncul entah dari mana, bergerak lembut naik dan turun.

Thor berhasil berjalan menuju haluan, bersandar pagar dan melihat ke kejauhan. Reece muncul di sebelahnya, dan O'Connor berada di sisinya yang lain. Mereka semua berdiri berdampingan, dan Thor menyaksikan rantai kepulauan mendekat dengan cepat. Mereka berdiri dalam keheningan dalam waktu yang lama, Thor merasakan angin lembab yang membuat tubuhnya menjadi santai.

Akhirnya, Thor menyadari mereka menuju ke satu pulau. Pulau itu semakin besar, dan Thor merasakan hawa dingin ketika ia menyadari bahwa itu adalah tujuan mereka.

"Pulau Kabut," kata Reece, takjub.

Thor mengamatinya dengan heran. Bentuknya mulai terlihat jelas - pulau itu berbatu, terjal, tandus, dan terbentang beberapa mil di setiap arah, panjang dan sempit, berbentuk seperti tapal kuda. Gelombang raksasa menabrak pantainya, suaranya bergemuruh bahkan dari sini, menciptakan percikan besar busa saat gelombang itu menabrak batu-batu besar. Ada secarik dataran kecil di luar batu besar, dan kemudian dinding tebing yang melambung tinggi lurus ke atas, tinggi ke udara. Thor tidak melihat bagaimana perahu mereka bisa mendarat dengan aman.

Menambah keanehan tempat ini, kabut merah tertinggal di seluruh pulau, seperti embun, berkilau di bawah sinar matahari. Ini memberikan nuansa yang tidak menyenangkan. Thor bisa merasakan sesuatu yang bukan manusia dan tidak wajar tentang tempat ini.

"Mereka mengatakan pulau itu bertahan jutaan tahun," tambah O'Connor. "Pulau itu lebih tua dibandingkan Cincin. Lebih tua, bahkan, dibandingkan Kekaisaran."

"Pulau itu milik para naga," tambah Elden, muncul di samping Reece.

Saat Thor memandang, tiba-tiba matahari kedua turun di langit; di saat-saat hari berubah dari cerah dan cerah hampir terbenam, langit ternoda dengan warna merah dan ungu. Ia tidak bisa mempercayainya: ia belum pernah melihat matahari yang bergerak secepat itu sebelumnya. Ia bertanya-tanya apa lagi yang berbeda di belahan dunia ini.

"Apakah seekor naga hidup di pulau ini?" tanya Thor.

Elden menggelengkan kepalanya.

Назад Дальше