Thor membuka matanya saat mendengar sebuah dengungan hebat di atas kepalanya, dan takjub saat melihat sekumpulan besar lebah berkumpul di langit. Mereka datang dari segala arah, dan saat ia mengangkat tangannya, ia merasa sedang memerintah mereka. Ia tak tahu bagaimana ia melakukannya, tapi ia benar-benar melakukannya.
Thor menggerakkan tangannya ke arah si raksasa, dan saat ia melakukannya, ia melihat sekumpulan lebah menggelapkan angkasa, menukik ke bawah dan mengerubungi si raksasa. Raksasa itu mengibaskan dan memukulkan tangannya ke sana kemari, lalu memekik, saat mereka mengerumuninya, menyengatnya ribuan kali sampai lututnya limbung dan ia terjatuh dengan wajah menyentuh tanah, mati. Tanah bergetar saat tubuhnya berdebam ke tanah.
Thor kemudian mengarahkan tangannya ke arah pasukan McCloud, yang sedang terduduk di kuda mereka, menatap ke arahnya, menatap kejadian itu, syok. Mereka mulai melarikan diri – tapi rekasi mereka terlambat. Thor mengayunkan telapak tangannya ke segala arah, dan kerumunan lebah meninggalkan si raksasa dan mulai menyerang para prajurit.
Pasukan McCloud berteriak ketakutan saat melarikan diri, tersengat ribuan kali oleh kerumunan lebah. Segera saja medan pertempuran itu menjadi kosong karena para prajurit berusaha kabur secepat mungkin. Beberapa tak dapat melarikan diri, prajurit demi prajurit berjatuhan, memenuhi tanah lapang itu dengan mayat.
Saat orang-orang yang selamat berusaha kabur, kerumunan lebah mengejar mereka hingga menyeberangi tanah lapang, jauh ke cakrawala. Dengungan suara lebah bercampur baur dengan ringkikan kuda dan jeritan ketakutan para serdadu.
Thor takjub: dalam beberapa menit, medan pertempuran itu terasa lengang dan sunyi. Yang terdengar hanyalah rintihan serdadu McCloud yang terluka, terkapar tak berdaya. Thor memandang sekeliling dan memandang teman-temannya, yang kelelahan dan bernapas tersengal-sengal. Tubuh mereka tampak memar dan mengalami luka ringan, tapi tidak apa-apa. Selain itu, tentu saja, tiga anggota Legiun yang tak dikenalnya terkapar tewas.
Terdengar suara keras di cakrawala, dan Thor berbalik ke arah itu. Memandang Tentara Kerajaan berkuda menaiki bukit mendekati mereka, Kendrick berada di muka. Mereka memacu kuda ke arah Thor dan kawan-kawannya, satu-satunya penyintas di medan berdarah ini.
Thor berdiri di sana, terkejut, menatap mereka yang berjalan mendekatinya, Kendrick, Kolk, Brom, dan yang lainnya. Mereka disertai oleh lusinan Kesatuan Perak, para ksatria hebat dari Tentara Kerajaan. Mereka melihat Thor dan yang lainnya berdiri sendirian di sana, dengan bangga di medan berdarah, di tengah-tengah ratusan mayat McCloud. Ia dapat melihat keheranan, penghargaan, kekaguman mereka. Ia dapat melihatnya di mata mereka, sesuatu yang ia inginkan sepanjang hidupnya.
Dia pahlawan.
BAB SEMBILAN
Erec menunggang kudanya, memacunya menuruni Jalur Selatan, berkuda lebih cepat daripada sebelumnya, berusaha sebisanya untuk menghindar dari lubang-lubang di jalan di tengah malam. Ia telah berkuda sejak mendengar kabar penculikan Alistair, untuk dijual sebagai budak dan dibawa ke Baluster. Ia tak berhenti menyalahkan dirinya sendiri. Ia telah bodoh dan naïf untuk memercayai penjaga penginapan itu, mengira ia akan menepati perkataannya, akan menepati kesepakatan mereka dan membebaskan Alistair begitu ia memenangkan perlombaan. Kata-kata Erec adalah kehormatan baginya, dan ia mengira kata-kata orang lain juga demikian. Itu adalah kesalahan yang tolol. Dan Alistair yang harus membayarnya.
Hati Erec terluka ketika ia membayangkan Alistair, dan ia pun menendang kudanya lebih keras. Wanita yang cantik dan mempesona, dulu ia menderita karena bekerja di bawah perintah penjaga penginapan – dan sekarang ia dijual sebagai budak, dan lebih-lebih lagi sebagai budak seks. Pemikiran itu membuatnya murka, dan ia merasa bertanggung jawab. Jika Erec tak pernah muncul dalam hidupnya, tak pernah menawarkan diri untuk membawanya, mungkin di penjaga penginapan itu tak akan melakukan hal ini.
Erec terus memacu kudanya melintasi malam, hanya suara ringkikan kudanya yang terdengar, memenuhi telinganya bersama suara napas kudanya yang tersengal-sengal. Kudanya tampaknya kelelahan, dan Erec khawatir ia akan membuat kudanya terkapar. Erec pergi ke penginapan sesudah turnamen, tidak berhenti sedikitpun, dan letih. Ia sangat ingin beristirahat dan turun dari kudanya. Namun ia memaksa matanya untuk tetap terbuka, memaksa dirinya untuk tetap terjaga, sambil tetap memacu kudanya di bawah sisa bulan purnama, ke arah selatan menuju Baluster.
Erec telah mendengar tentang Baluster di sepanjang hidupnya, meski ia belum pernah ke sana. Kabar burung mengatakan tempat itu terkenal dengan perjudian, opium, seks dan segala keliaran yang dapat dibayangkan di kerajaan. Di sanalah di mana semua ketidakpuasan dikumpulkan dari segala penjuru Cincin, untuk menikmati segala jenis pesta-pora kelam yang diketahui pria. Tempat itu adalah kebalikan dirinya. Erec tak pernah berjudi dan jarang minum. Ia lebih suka menghabiskan waktu luangnya untuk berlatih, mengasah ketrampilannya. Ia tak dapat memahami jenis orang-orang yang menyukai kemalasan dan pesta-pora, seperti kebiasaan para pengunjung Baluster. Datang ke tempat itu bukanlah suatu hal yang baik untuknya. Tak ada apapun yang baik di situ. Bayangan tentang Alistair di tempat seperti ini membuat hatinya murung. Ia harus menyelamatkannya sesegera mungkin, dan membawanya jauh dari sini, sebelum terjadi sesuatu.
Saat bulan tergelincir di langit, jalan tampak melebar dan lebih baik. Erec memperoleh kesan pertama tentang kota itu: obor-obor yang tak terhitung jumlahnya menyinari dindingnya membuat kota itu tampak seperti api unggun di malam hari. Erec tidak terkejut: para penduduknya digosipkan tetap terjaga di malam hari.
Erec berkuda lebih cepat dan kota semakin dekat. Ia memacu kudanya di atas sebuah jembatan kecil terbuat dari kayu, obor menyala di kedua sisinya, seorang penjaga terkantuk-kantuk di posnya dan ia terkejut saat Erec melewatinya dengan mendadak. Penjaga itu berteriak: “HEI!”
Tapi Erec tidak melambatkan kudanya. Jika pria itu dengan penuh percaya diri mengerjar Erec – dan Erec meragukannya – ia akan memastikan bahwa itu adalah hal terakhir yang dilakukan pria itu.
Erec memacu kudanya menuju pintu gerbang yang besar dan terbuka yang mengarah ke sebuah pelataran yang dikelilingi tembok batu kuno. Saat ia masuk, ia melewati jalan-jalan sempit yang terang oleh obor. Bangunan dibangun berdekatan, menjadikan kota itu tampak sempit dan mendatangkan sensasi klaustrofobia. Jalanan dipenuhi orang, dan hampir semuanya tampak mabuk, berjalan sempoyongan, berseru dengan suara lantang, saling berdesakan. Kelihatannya seperti ada sebuah pesta besar. Semua bangunan di tempat itu adalah kedai minum atau rumah judi.
Erec tahu ia berada di tempat yang benar. Ia dapat merasakan kehadiran Alistair di sini, di suatu tempat. Ia menelan ludahnya, berharap ia belum terlambat.
Ia menuju ke sebuah tempat yang tampaknya adalah kedai minum terbesar di kota itu. Orang-orang tampak berdesakan di luar, dan ia merasa ini adalah tempat terbaik untuk memulai pencariannya.
Erec turun dari kudanya dan bergegas masuk ke dalam, ia menyikut orang-orang mabuk yang menghalangi jalannya dan sampailah ia di hadapan seorang penjaga penginapan yang berdiri di tengah ruangan. Ia menulis nama orang-orang dan mengambil koin mereka, lalu mengarahkan mereka menuju kamar-kamar. Ia adalah sosok yang kurus dan menyunggingkan senyuman palsu, berkeringat dan menggosok-gosokkan tangannya setiap kali ia selesai menghitung koinnya. Ia menatap Erec, senyuman palsu terbentuk di wajahnya.
“Kamar,tuan?” tanyanya. “Atau kau ingin perempuan?”
Erec menggelengkan kepalanya dan mendekati pria itu, berbisik di dalam keremangan cahaya.
“Aku mencari seorang pedagang,” kata Erec. “Seorang pedagang budak. Ia datang ke sini dari Savaria kemarin atau sebelumnya. Ia membawa muatan yang berharga. Muatan manusia.”
Pria itu membasahi bibirnya.
“Yang kau cari adalah sebuah informasi berharga,” kata pria itu. “Aku bisa menjawabnya, semudah aku menyediakan kamar.”
Pria itu menyodorkan tangannya dan menjentikkan kedua jarinya, dan menadahkan tangannya. Ia menatap ke arah Erec dan tersenyum, keringat membasahi bagian atas bibirnya.
Erec merasa jijik dengan pria itu, tapi ia menginginkan informasi, dan tak ingin membuang waktu lebih lama lagi. Jadi ia merogoh kantongnya dan memberikan sebuah koin emas besar di tangan pria itu.
Mata pria itu terbuka lebar saat ia mengenali koin itu.
“Koin emas Raja,”katanya kagum.
Ia menatap Erec dari atas ke bawah dengan tatapan hormat dan heran.
“Apakah kau datang dari Istana Raja?” tanyanya.
“Cukup,” kata Erec. “Aku hanya bertanya. Aku sudah membayarmu. Sekarang katakan padaku: di mana pedagang itu?”
Pria itu menjilat bibirnya beberapa kali, lalu membungkuk ke arahnya.
“Orang yang kau cari bernama Erbot. Ia datang ke sini seminggu sekali dengan sekumpulan pelacur baru. Ia menjual mereka pada penawar tertinggi. Kau akan menemukan dia di pondoknya. Ikuti jalan ini sampai ke ujung, dan kau akan temukan rumahnya di sana. Tapi jika gadis yang kau cari cukup berharga, ia mungkin sudah tidak ada. Pelacur-pelacurnya cepat laku.”
Erec baru berbalik hendak pergi, ketika ia merasakan sebuah sentuhan hangat dan tangan berlemak di pergelangan tangannya. Saat ia berpaling, ia terkejut karena si penjaga penginapan yang telah menggandengnya.
“Kalau kau mencari pelacur, mengapa tidak coba punyaku? Mereka juga bagus seperti punya Erbot, separuh harga pula.”
Erec menyeringai ke arah pria itu, murka. Jika ada waktu, pasti ia sudah membunuh pria itu untuk mengamankan dunia ini dari orang seperti dia. Tapi ia mengampuni pria itu, dan memutuskan ia tak sebanding.
Erec melepaskan tangannya, lalu mendekat ke arahnya.
“Kalau tanganmu menyentuhku lagi,” ancam Erec, “kau akan berharap bahwa kau tak pernah melakukannya. Sekarang menyingkirlah dari hadapanku sebelum aku membinasakanmu.”
Penjaga penginapan itu menunduk, matanya terbuka dengan penuh rasa takut, dan ia mengambil langkah mundur.
Erec berbalik dan berlari meninggalkan ruangan, menyikut dan mendorong untuk membuka jalan keluarnya dan menuju pintu ganda. Ia belum pernah merasa semuak ini dengan sekelompok manusia.
Erec mencari kudanya kudanya, yang mendengkik dan meringkik ke arah para pemabuk yang lewat dan menatapnya – tak diragukan lagi, pikir Erec, mereka mencoba mencuri kudanya. Ia heran apakah orang-orang itu mengira bahwa ia tidak akan kembali. Dan ia akan mengingat untuk mengikat kudanya dengan lebih aman di tempat berikutnya. Ia terheran-heran dengan keliaran kota ini. Untungnya, Warkfin, kudanya, adalah kuda yang tangguh. Dan jika ada seseorang yang hendak mencurinya, ia akan menendang mereka sampai mati.
Erec menendang Warkfin, dan mereka meluncur di jalan yang sempit. Erec berusaha sebisanya untuk menghindari kerumunan orang. Malam sudahlarut, tapi jalan semakin padat dengan kerumunan orang. Orang-orang dari segala ras saling menggoda satu sama lain. Beberapa penjaga yang mabuk berseru ke arahnya saat ia melewati mereka dengan cepat, tapi ia tak peduli. Ia dapat merasakan Alistair ada dalam jangkauannya dan ia tak akan berhenti sampai berhasil mendapatkannya kembali.
Jalanan berakhir di sebuah dinding batu, dan bangunan terakhir di sebelah kanan adalah sebuah kedai minum yang bobrok dengan dinding tanah liat putih dan atap jerami, yang nampaknya telah melewati masa keemasannya. Dari penampilan orang-orang yang keluar masuk, Erec merasa inilah tempat yang tepat.
Erec turun dari kudanya, mengikat kudanya dengan aman di sebuah pos, dan melesat masuk melalui pintu. Waktu ia masuk, ia berhenti, terpana.
Tempat itu remang-remang, satu ruangan besar dengan beberapa obor berkedip di dinding dan api yang hampir redup di perapian. Permadani digelar dimana-mana, di sana terbaring sejumlah wanita, hampir telanjang, diikat oleh tali tebal satu sama lain ke dinding. Mereka tampak sedang dibius – Erec dapat mencium bau opium di udara, dan melihat sebuah pipa diedarkan. Beberapa pria berjalan melewati ruangan, menendang dan meraba kaki para wanita di sana sini, seolah sedang memeriksa suatu barang dan memutuskan mana yang akan dibeli.
Jauh di pojokan duduk seorang pria di kursi beludru merah, mengenakan jubah sutra. Para perempuan dirantai di sisinya. Berdiri di belakangnya seorang pria tinggi berotot, wajah mereka penuh bekas luka, mereka lebih tinggi dan besar daripada Erec, tatapannya seolah mereka akan sangat senang jika harus membunuh seseorang.
Erec melangkah ke tengah dan menyadari apa yang sedang terjadi: ini adalah sebuah toko seks, para wanita ini disewakan, dan pria di pojokan itu adalah makelarnya, pria yang telah menculik Alistair – dan mungkin dia juga menculik semua wanita ini. Bahkan mungkin Alistair juga ada di ruangan ini.
Ia segera bertindak, dengan marah bergegas melalui hamparan wanita dan menelusuri mereka satu per satu. Ada lusinan wanita di ruangan ini, beberapa di antaranya pingsan, dan ruangan ini sangat gelap sehingga sulit mengatakan apa yang sebenarnya terjadi. Ia menatap wajah mereka satu per satu, berjalan di tiap lajur ketika mendadak sebuah telapak tangan besar memukulnya di dadanya.
“Apa kau sudah bayar?” tanya sebuah suara kasar.
Erec mendongak dan melihat seorang pria besar berdiri di depannya, memandangnya marah.
“Kau ingin melihat-lihat wanita ini, kau harus bayar,” bentak pria itu dengan suara berat. “Itu peraturannya.”
Erec melotot ke arah pria itu, merasakan kebencian tumbuh di dalam dirinya. Sebelum pria itu dapat mengedipkan mata, Erec mengulurkan tangan dan mencengkeramnya dengan ujung telapak tangannya, tepat di kerongkongan pria itu.
Pria itu terengah-engah, matanya terbuka lebar, lalu ia terjatuh di lututnya, memegang tenggorokannya. Erec mengulurkan tangannya lagi dan menyodok pelipis pria itu, dan ia terjatuh dengan wajah lebih dulu.
Erec berjalan cepat melalui barisan, menelusuri wajah-wajah para wanita dengan putus asa, mencari Alistair. Tapi ia tak kelihatan. Ia tak ada di sini.
Jantung Erec berdetak keras saat ia bergegas menuju pojok ruangan, kearah pria tua yang duduk di sana, melihat semuanya.
“Sudahkah kau temukan mana yang kau suka?” tanya pria itu.”Sesuatu yang ingin kau tawar?”
“Aku mencari seorang wanita,” kata Erec, suaranya mengeras, mencoba untuk tetap tenang, “dan aku hanya akan mengatakan ini satu kali. Dia tinggi, rambutnya pirang panjang dan matanya hijau kebiruan. Namanya Alistair. Dia dibawa dari Savaria sehari atau dua hari yang lalu. Ada yang bilang dia dibawa ke sini. Benarkah itu?”
Pria itu dengan perlahan menggelengkan kepalanya, muram.
“Barang yang kau cari sudah terjual, sayangnya,” kata pria itu. “Makhluk sempurna. Seleramu bagus. Pilih yang lainnya, dan aku akan memberimu potongan harga.”
Erec murka, merasa sebuah amarah menggelegak dalam dirinya yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
“Siapa yang membawanya?” Erec geram.
Pria itu tersenyum.
“Ya ampun, sepertinya kau hanya ingin budak yang satu itu.”