“Dia bukan budak,” raung Erec. “Dia istriku.”
Pria itu menatapnya kembali, terkejut – kemudian mendongak dan tertawa keras.
“Istrimu! Cantik juga. Tidak lagi, temanku. Sekarang ia mainan milik seseorang.” Lalu wajah penjaga penginapan itu menjadi gelap, berubah semurka iblis, lalu ia memberi isyarat pada tukang pukulnya seraya berkata. “Sekarang bereskan sampah ini.”
Dua orang berotot maju ke muka, dengan kecepatan yang mengejutkan Erec. Keduanya mendekat ke arah Erec dengan segera, menggapaikan tangan hendak mencengkeram dadanya.
Tapi mereka tidak sadar siapa yang mereka serang. Erec lebih cepat daripada mereka berdua, ia menghindar dari mereka, menarik salah satu pergelangan tangan mereka dan memelintirnya ke belakang sampai para pria itu terjatuh dengan punggungnya, kemudian saling menyikut tenggorokan satu sama lain. Erec melangkah ke depan dan membanting leher pria itu ke lantai, membuatnya pingsan. Kemudian membungkuk dan membenturkan kepalanya ke pria yang satunya, tepat di tenggorokannya sampai ia terkapar.
Kedua tukang pukul itu terbaring di sana, pingsan. Lalu Erec melangkahi tubuh mereka ke arah si penjaga penginapan, yang gemetaran di kursinya, matanya terbelalak ketakutan.
Erec mencengkeram rambut pria itu, menyentakkan kepalanya dan mengarahkan belati ke arah tenggorokan pria itu.
“Katakan di mana dia dan aku mungkin akan membiarkanmu hidup,” seru Erec.
Pria itu tergagap.
“Aku akan mengatakannya padamu, tapi kau hanya buang-buang waktu,” jawabnya. “Aku menjualnya pada seorang bangsawan. Ia punya tentara sendiri dan tinggal di kastilnya sendiri. Ia seorang yang sangat berkuasa. Kastilnya tak bisa ditembus. Lagipula prajuritnya sangat banyak. Ia orang yang sangat kaya – ia punya pasukan sewaan yang siap melakukan perintahnya kapanpun. Setiap gadis yang dibelinya, dijaganya. Tak mungkin kau bisa mendapatkannya kembali. Kembalilah ke tempat asalmu. Gadis itu sudah tidak ada.”
Erec menekan belati itu semakin kuat ke tenggorokan pria itu sampai darahnya mulai mengucur, dan pria itu mulai menjerit.
“Di mana bangsawan itu?” desis Erec, kehilangan kesabaran.
“Kastilnya ada di barat kota. Pergilah ke Gerbang Barat kota dan kastil itu tak jauh dari sana. Kau akan melihatnya. Tapi itu sia-sia. Ia membayar banyak uang untuk gadis itu – lebih daripada harga yang seharusnya.”
Erec tak tahan lagi. Tanpa berpikir panjang, ia memotong tenggorokan makelar seks itu, membunuhnya. Darah mengalir di mana-mana saat pria itu terbujur lemas di kursinya, mati.
Erec memandang ke arah mayatnya, ke arah para tukang pukul yang pingsan, dan merasa muak dengan tempat ini. Ia tak percaya tempat semacam ini benar-benar ada.
Erec berjalan menyusri ruangan dan mulai membuka tali yang mengikat semua wanita di situ, memotong tali yang tebal, membebaskan mereka satu per satu. Beberapa bangkit dan berlari ke arah pintu. Ruangan itu menjadi lengang, dan mereka semua berhamburan ke arah pintu. Beberapa terlalu mabuk untuk bangkit dan yang lainnya menolongnya.
“Siapapun dirimu,” satu wanita berkata pada Erec, berhenti sebelum ia keluar dari pintu, “diberkatilah kau. Dan ke manapun kau akan pergi, semoga Tuhan menolongmu.”
Erec menghargai rasa terima kasih dan berkat itu. Dan perasaannya mengatakan, ke mana ia akan pergi sekarang, ia akan membutuhkannya.
BAB SEPULUH
Fajar menyingsing, menyeruak dari jendela kecil pondok Illepra, menerpa mata Gwendolyn yang tertutup, dan membangunkannya perlahan. Matahari pertama yang berwarna jingga pucat, membelainya, membangunkannya di kesunyian pagi. Ia mengejap-ngejapkan matanya beberapa kali, mula-mula merasa bingung, heran ada di mana ia saat itu. Lalu ia pun menyadari:
Godfrey.
Gwen telah jatuh tertidur di lantai pondok, terbaring di kasur jerami dekat pembaringan Godfrey. Illepra tertidur tepat di sisi Godfrey, dan itu adalah malam panjang untuk mereka bertiga. Godfrey merintih sepanjang malam, tubuhnya menggigil dan gelisah. Dan Illepra merawatnya sekuat tenaga. Gwen berusaha membantu sebisanya, membawakan kain basah, memerasnya, mengompreskannya di kening Godfrey dan membawakan Illepra obat-obatan dan salep yang dimintanya terus menerus. Malam itu tampaknya tak pernah berakhir. Berulang kali Godfrey menjerit, dan ia merasa yakin Godfrey sedang sekarat. Berulang kali ia memanggil nama ayah mereka, dan Gwen merasa bergidik. Ia dapat merasakan kehadiran ayahnya, melayang-layang di antara mereka. Ia tak tahu apakah ayahnya ingin anak lelakinya ini hidup atau mati – hubungan mereka tak terlalu baik.
Gwen juga tidur di pondok karena ia tak tahu ke mana harus pergi. Ia merasa dirinya taka man jika kembali ke kastil, berada satu atap dengan kakaknya. Ia merasa aman di sini, di rumah Illepra, dengan Akorth dan Fulton yang berjaga di luar. Ia merasa tak seorang pun tahu di mana ia berada, dan biarlah seperti itu. Lagipula, telah tumbuh ikatan antara dia dan Godfrey dalam beberapa hari terakhir, ia menemukan kakak yang tak pernah dikenalnya, dan menyedihkan saat mengetahui ia sekarat.
Gwen segera berdiri, bergegas ke menuju Godfrey, jantungnya berdetak keras, bertanya-tanya apakah ia masih hidup. Sebagian darinya merasa kakaknya akan terbangun di pagi hari, ia akan hidup. Dan jika tidak, maka berakhirlah segalanya. Illepra terbangun dan menuju ke arahnya. Ia pasti tertidur di tengah malam, Gwen pasti akan memarahinya.
Mereka berdua berlutut di sana, di sisi Godfrey, di dalam pondok kecil yang dipenuhi cahaya. Gwen memegang pergelangan tangannya dan menggoyangkannya, sedangkan Illeppra menyentuhkan tangannya di kening Godfrey. Ia menutup matanya dan bernafas – mendadak Godfrey membuka matanya. Illepra menarik tangannya karena terkejut.
Gwen juga terkejut. Ia tak mengira Godfrey akan membuka matanya. Ia berpaling dan menatap ke arahnya.
“Godfrey?” tanyanya.
Ia menyipitkan matanya, memejamkan mata kemudian membuka mata kembali. Lalu, Gwen takjub, karena Godfrey menyangga tubuhnya dengan satu siku dan menatap mereka.
“Jam berapa ini?” tanyanya. “Di mana aku?”
Suaranya tampak waspada, sehat, dan Gwen merasa sangat lega. Ia tersenyum lebar bersama Illepra.
Gwen mendekap dan menyambut Godfrey, memeluknya, lalu mundur.
“Kau hidup!” serunya.
“Tentu aja,”katanya. “Mengapa tidak? Siapa ini?” tanyanya, berpaling ke arah Illepra.
“Wanita yang menyelamatkanmu,” jawab Gwen.
“Menyelamatkanku?”
Illepra menatap ke lantai.
“Aku hanya membantu sedikit,” katanya ramah.
“Apa yang terjadi padaku?” tanya Godfrey pada Gwen, panik. “Yang terakhir kuingat, aku sedang minum di kedai dan...”
“Kau diracun,” kata illepra. “Sebuah racun yang langka dan sangat kuat. Aku tak pernah menemukannya dalam beberapa tahun ini. Kau beruntung bisa hidup. Kenyataannya, kau satu-satunya yang selamat dari racun itu. Seseorang pasti sangat mengasihimu.”
Mendengar perkataan Illepra, Gwen tahu bahwa ia benar, dan segera ia teringat akan ayahnya. matahari menerobos lewat jendela, lebih kuat, dan ia merasakan kehadiran ayahnya bersama mereka. Ia ingin Godfrey hidup.
“Itu benar,” kata Gwen sambil tersenyum. “Kau sudah berjanji tidak minum-minum lagi. Sekarang lihat apa yang terjadi.”
Ia berpaling dan tersenyum ke arah Gwen. Gwen melihat pipinya kembali hidup dan terasa penuh dengan kelegaan. Godfrey telah kembali.
“Kau telah menyelamatkan aku,” katanya dengan sungguh-sungguh.
Ia melihat ke arah Illepra.
“Kalian berdua,” tambahnya. “Aku tak tahu bagaimana cara membalas kalian.”
Saat ia memandang Illepra, Gwen mengetahui sesuatu – ada sesuatu di mata Godfrey, sesuatu yang lebih daripada rasa terima kasih. Gwen berpaling dan melihat ke arah Illepra, pipinya merona, menunduk – dan Gwen menyadari mereka saling menyukai.
Illepra dengan cepat berbalik dan menyeberangi raungan, memunggungi mereka, menyibukkan diri dengan suatu ramuan.
Godfrey menatap Gwen.
“Gareth?” tanyanya, mendadak menjadi muram.
Gwen mengangguk, paham apa yang ditanyakan Godfrey.
“Kau beruntung kau tidak mati,” katanya. “Tapi Firth.”
“Firth?” Godfrey terdengar heran. “Mati? Bagaimana?”
“Ia menggantungnya di tiang gantungan,” katanya. “Kau seharusnya menyusul.”
“Dan kau?”tanya Godfrey.
Gwen mengangkat bahu.
“Ia berencana menikahkan aku. Ia menjualku ke Nevarun. Tampaknya mereka sedang ada di jalan untuk menjemputku.”
Godfrey terduduk, marah.
“Aku tak akan membiarkannya!” serunya.
“Demikian juga aku,” jawabnya. “Akan kucari jalan.”
“Tapi tanpa Firth kita tidak punya bukti,” katanya. “Kita tak mungkin mengalahkannya. Gareth akan bebas.”
“Kita akan cari jalan keluar,” jawabnya. “Kita akan –“
Mendadak pondok itu dipenuhi dengan cahaya saat pintu terbuka dan masuklah Akorth dan Fulton.
“Tuanku –“ kata Akorth, lalu berpaling ke arah Godfrey.
“Dasar bajingan!” seru Akorth kegirangan ke arah Godfrey. “Aku tahu itu! Kau selalu berpura-pura tentang semuanya – Aku tahu kau juga pura-pura mati!”
“Aku tahu tak ada bir yang bisa mengantarmu ke kuburan!” tambah Fulton.
Akorth dan Fulton berlarian dan saat Godfrey bangkit dari ranjang, mereka berpelukan.
Lalu Akorth berpaling kepada Gwen, serius.
“Tuanku, maafkan aku telah mengganggumu. Tapi kami melihat pasukan di cakrawala. Mereka berkuda ke sini sekarang.”
Gwen menatap mereka dengan waspada, lalu berlari ke luar, berderap dengan sepatunya, menundukkan kepalanya dan mengejap-ngejapkan matanya di terangnya sinar matahari.
Mereka semua berdiri di luar, dan Gwen melihat ke cakrawala ada sekelompok kecil Kesatuan Perak sedang menuju pondok itu. Setengah lusin pria dengan kecepatan tinggi, dan tak diragukan lagi mereka sedang menuju ke pondok.
Godfrey mencari pedangnya, tapi Gwen meletakkan tangannya di pergelangan tangan Godfrey.
“Mereka bukan orang-orang Gareth – mereka anak buah Kendrick. Aku yakin mereka datang dengan damai.”
Para prajurit sampai di depan mereka, dan tanpa banyak bicara, turun dari kuda dan berlutut di depan Gwendolyn.
“Tuanku,” ujar kepala pasukan. “Kami bawakan Anda berita gembira. Kami telah memukul mundur pasukan McCloud! Kakak Anda Kendrick selamat, dan ia memintaku untuk menyampaikan sebuah pesan: Thor baik-baik saja.”
Gwen meneteskan air mata mendengar berita itu, karena rasa syukur dan lega, maju ke muka dan memeluk Godfrey yang juga memeluknya. Ia merasa hidupnya telah bangkit kembali.
“Mereka semua seharusnya pulang hari ini,” lanjut si pembawa pesan, “dan akan ada perayaan besar-besaran di Istana Raja!”
“Itu berita bagus!” seru Gwen.
“Tuanku,” ujar sebuah suara berat. Gwen berpaling dan menatap seorang bangsawan. Seorang pejuang tangguh, Srog, berpakaian merah khas area barat, pria yang dikenalnya sejak kecil. Pria itu dekat dengan ayahnya. Ia berlutut di hadapannya, dan Gwen merasa malu.
“Jangan, Tuan,” kata Gwen, “Jangan berlutut di depanku.”
Ia adalah seseorang yang ternama, seorang bangsawan terkuat yang memiliki ribuan prajurit, dan memerintah kotanya sendiri, Silesia, pemegang kekuasaan daerah Barat. Kota itu tak biasa. dibangun di tebing tepat di ujung Ngarai. Hampir tak tersentuh. Ia adalah salah satu dari sedikit orang yang dipercaya oleh ayahnya.
“Aku berkuda dengan mereka karena kudengar ada perubahan hebat yang terjadi di Istana Raja,” katanya. “Singgasana sedang tidak stabil. Seorang penguasa baru – tegas, penguasa sesungguhnya harus ditempatkan sebagai pengganti. Aku telah mendengar keinginan ayahmu bahwa kau yang seharusnya naik takhta. Ayahmu seperti saudara bagiku, dan kata-katanya adalah pengikatku. Jika itu adalah kehendaknya, maka demikianlah juga kehendakku. Aku datang untuk memberitahukanmu bahwa, jika kau yang seharusnya berkuasa maka orang-orangku akan membantumu. Aku sarankan agar kau segera bertindak. Peristiwa hari ini membuktikan bahwa Istana Raja membutuhkan seorang penguasa baru.”
Gwen berdiri di sana, terpana, tak tahu bagaimana harus berkata. Ia merasa sangat lega dan bangga, namun ia juga merasa sangat lelah.
“Terima kasih, tuan,” katanya. “Aku sangat bersyukur mendengar perkataanmu dan dengan tawaranmu. Aku harus memikirkannya masak-masak. Saat ini, aku hanya ingin menyambut kepulangan kakakku – dan Thor.”
Srog memberi hormat, dan sebuah terompet terdengar di cakrawala. Gwen mendongak dan bisa melihat gumpalan debu: sebuah pasukan besar sedang mendekat. Ia mengangkat satu tangannya untuk menghalangi sinar matahari, dan hatinya merasa lega. Dari sini ia bisa merasakan siapa mereka. Mereka adalah Kesatuan Perak, tentara Raja.
Dan yang berkuda di depan mereka adalah Thor.
BAB SEBELAS
Thor berkuda dengan pasukan, ribuan prajurit mengarah kembali dalam satu iring-iringan menuju Istana Raja, dan ia merasa gembira. Ia masih sulit memahami apa yang sedang terjadi. Ia merasa bangga dengan apa yang sudah ia lakukan, bangga karena meskipun kelihatannya mereka ada di titik terendah dalam pertempuran, ia tidak menyerah pada rasa takutnya, namun tetap berani dan menghadapi para prajurit itu. Dan ia terkejut mengetahui entah bagaimana ia bisa bertahan hidup.
Seluruh pertempuran itu terasa nyata, dan ia sangat bersyukur ia bisa memanggil kekuatannya – namun ia juga bingung, karena kekuatannya tidak selalu bekerja. Ia tidak memahami kekutatannya, dan lebih buruk lagi, ia tidak tahu dari mana kekuatannya berasal atau bagaimana cara mengerahkannya. Ini membuatnya menyadari lebih dari sebelumnya bahwa ia harus belajar untuk mengandalkan keterampilan manusianya juga – untuk menjadi petarung terbaik, prajurit terbaik. Ia mulai menyadari bahwa untuk menjadi prajurit terbaik, ia membutuhkan kedua sisi dirinya – petarung, dan penyihir – jika ia memang demikian.
Mereka berkuda sepanjang malam kembali ke Istana Raja, dan Thor sekarang lebih dari kelelahan, tapi juga gembira. Matahari pertama terbit di cakrawala, hamparan luas langit terbuka depannya dalam nuansa kuning dan merah muda, dan ia merasa seolah-olah sedang melihat dunia untuk pertama kalinya. Ia tidak pernah merasa begitu hidup. Ia dikelilingi oleh teman-temannya, Reece, O’Connor, Elden, dan si kembar; oleh Kendrick, Kolk, dan Brom; dan oleh ratusan anggota Legiun, Kesatuan Perak, dan pasukan Raja. Tapi bukannya berada berada di bagian pinggir iring-iringan itu, sekarang ia berkuda di bagian tengah, dikelilingi oleh mereka semua. Tentu saja, sekarang mereka semua menatapnya secara berbeda sejak pertempuran itu. Sekarang, ia melihat kekaguman bukan hanya di mata sesama anggota Legiunnya, tapi juga di mata para prajurit yang lebih tua. Ia telah melawan seluruh pasukan McCloud sendirian dan membalikkan keadaan.
Thor merasa sangat bahagia karena ia tidak membiarkan seorang pun dari saudara-saudara Legiunnya jatuh. Ia merasa gembira karena teman-temannya berhasil lolos yang sebagian besarnya tidak terluka, dan ia merasa kasihan kepada mereka yang mati dalam pertempurna itu. Ia tidak mengenal mereka, namun ia berharap ia bisa menyelamatkan mereka juga. Itu adalah sebuah pertempuran berdarah dan bengis, dan bahkan sekarang, saat Thor berkuda, kapan pun ia mengedipkan mata, gambarwas just happy that he did not let any of his Legion brothers down. He was happy that his friends had escaped mostly unharmed, and he felt a sense of remorse about those who died in the battle. He did not know them, but he wished he could have saved them, too. It had been a bloody, ferocious battle, and even now, as Thor rode, whenever he blinked, gamabr-gambar itu berkelebat di dalam kepalanya dari pertempuran itu, dari berbagai senjata dan prajurit yang telah menyerangnya. Para McCloud adalah orang-orang yang bengis, dan ia sungguh beruntung; siapa yang tahu apakah ia bisa seberuntung itu jika mereka mereka bertemu lagi. Siapa yang tahu apakah ia bisa memanggil kekuatan itu lagi. Ia tidak tahu apakah kekuatannya bisa datang kembali. Ia membutuhkan jawaban. Dan ia harus menemukan ibunya. Ia perlu tahu siapakah sesungguhnya dirinya. Ia harus mencari Argon.