"Kemarilah!" teriak Braxton sambil berpaling ke arah Aidan yang tertinggal beberapa langkah darinya.
"Apa yang kau takutkan?" kata Brandon padanya.
"Aku tak takut—" Aidan bersikukuh.
"Diam!" sekonyong-konyong Brandon menghardik, menghentikan langkahnya dan menahankan telapak tangan di dada Aidan; kali ini raut mukanya terlihat serius. Braxton berhenti pula, dan mereka semua terlihat tegang.
Kyra bersembunyi di balik pohon sembari tetap mengawasi saudara-saudaranya. Mereka berdiri tepat di batas tanah terbuka, memandang lurus ke depan seolah tengah mengamati sesuatu.
Kyra merangkak maju dengan waspada, berusaha agar dapat melihat dengan lebih baik, dan saat ia menyelinap di antara dua buah pohon besar, langkahnya terhenti; ia tertegun karena sosok yang dilihatnya. Tampak olehnya seekor babi hutan yang tengah merumput sendirian di padang itu. Itu bukan babi hutan biasa; itu adalah Babi Hutan Tanduk Hitam yang mengerikan, babi hutan terbesar yang pernah ia temui, dengan taring putih panjang melengkung dan tiga tanduk hitam yang panjang dan tajam; satu buah tanduk mencuat dari moncongnya dan dua yang lain di atas batok kepalanya. Badannya hampir sebesar beruang, dan babi hutan semacam itu adalah hewan langka yang terkenal akan keganasan dan gerakannya yang secepat kilat. Babi hutan ini sangat ditakuti, dan tak ada seorang pun pemburu yang ingin bertemu dengannya.
Ini masalah besar.
Bulu di lengan Kyra meremang; ia berharap Leo ada di situ saat itu—namun ia pun bersyukur Leo tak ada, karena ia tahu Leo pasti akan segera menyergap babi hutan itu dan ia tak yakin apakah Leo mampu mengalahkannya. Kyra melangkah maju, perlahan melepaskan busur dari bahunya dan nalurinya menuntun tangannya meraih anak panah. Ia mencoba mengira-ngira jarak antara babi hutan itu dengan saudara-saudaranya, dan seberapa jauh ia berdiri dari hewan itu—dan ia merasa posisinya tak menguntungkan. Terlalu banyak pohon menghalangi untuknya melepaskan bidikan yang jitu—dan dengan babi hutan sebesar itu, ia tak boleh salah sedikit pun. Ia ragu apakah satu anak panah cukup untuk melumpuhkannya.
Kyra melihat raut ketakutan di muka kedua kakaknya, lalu Brandon dan Braxton menutupi rasa takutnya dengan berpura-pura menjadi pemberani—ia yakin itu pasti karena mereka tengah mabuk. Mereka berdua merengkuh tombak dan maju beberapa langkah. Demi melihat Aidan yang berdiri terpaku, Braxton berbalik lalu menarik bahu adiknya itu, kemudian memaksanya ikut melangkah maju.
"Inilah kesempatanmu untuk membuktikan diri sebagai seorang laki-laki," kata Braxton. "Bunuh babi hutan itu, dan mereka akan terus menyanjungmu."
"Bawa kepalanya dan kau akan menjadi tenar selamanya," kata Brandon.
"Aku...aku takut," jawab Aidan.
Brandon dan Braxton mencemooh lalu tertawa mengejek.
"Takut?" kata Brandon. "Lalu apa yang akan dikatakan oleh Ayah jika ia mendengarmu mengatakannya?"
Babi hutan itu bersiaga; ia mengangkat kepalanya, memperlihatkan mata kuningnya yang berkilat dan menatap mereka; mukanya mengernyit marah. Ia menyeringai memperlihatkan taringnya dan air liurnya menetes, sembari mengeluarkan geraman ganasnya yang berasal dari perutnya. Meskipun dari kejauhan, Kyra dapat merasakan ketakutan yang tiba-tiba menyergap—dan ia hanya dapat membayangkan seperti apa takutnya Aidan.
Kyra berlari tanpa mempedulikan bahaya yang mengancam, ia harus segera bertindak sebelum terlambat. Saat tinggal beberapa langkah lagi dari saudara-saudaranya, ia berseru:
"Minggir!"
Suaranya yang lantang memecah kesunyian, dan mereka pun berpaling karena terkejut.
"Cukup sudah main-mainnya," imbuh Kyra. "Biarkan saja."
Aidan tampak lega, namun Brandon dan Braxton merengut pada Kyra.
"Mau apa kau?" Hardik Brandon. "Berhentilah mengganggu laki-laki sejati."
Babi hutan itu menggeram makin dalam sembari melangkah ke arah mereka, dan Kyra pun, antara takut dan marah, melangkah maju.
"Jika kalian cukup tolol untuk menghadapi binatang ini, majulah," katanya. "Namun biarkan Aidan bersamaku saja di sini."
Brandon masam.
"Aidan akan baik-baik saja," balas Brandon. "Ia akan belajar caranya bertarung. Bukan begitu, Aidan?"
Aidan berdiri membisu, tertegun oleh rasa takutnya.
Kyra hendak melangkah maju dan merengkuh lengan Aidan tatkala didengarnya suara gemerisik dari padang di depannya. Ia melihat babi hutan itu mendekat, selangkah demi selangkah penuh ancaman.
"Babi hutan itu takkan menyerang jika tak diganggu," ujar Kyra meyakinkan kedua kakaknya. "Biarkan saja."
Namun kedua kakaknya mengabaikan kata-kata Kyra, lalu berbalik dan menghadapi binatang itu dan mengangkat tombaknya. Mereka maju ke arah padang, seolah hendak membuktikan betapa pemberaninya mereka.
"Aku akan mengincar kepalanya," kata Brandon.
"Dan aku akan membidik kerongkongannya," timpal Braxton.
Babi hutan itu menggeram makin keras, mulutnya menyeringai makin lebar, liurnya menetes, dan langkahnya mulai mengancam.
"Kembali kemari!" Kyra berteriak kehabisan akal.
Namun Brandon dan Braxton tak menyurutkan langkah, mengangkat tombaknya dan dengan cepat menghunjamkannya.
Kyra melihat dengan tegang saat tombak itu meluncur di udara, bersiap untuk menghadapi kemungkinan terburuk. Seperti yang dicemaskannya, ia melihat tombak Brandon menggores telinga babi hutan itu, cukup untuk membuatnya mengucurkan darah—sekaligus membuatnya marah—, sedangkan tombak Braxton meleset, melenceng beberapa kaki jauhnya dari kepala babi hutan.
Untuk kali pertama, Brandon dan Braxton tampak ketakutan. Mereka berdiri terpaku dengan mulut menganga dan raut muka tolol, gelora yang timbul akibat minuman mereka yang memabukkan kini tergantikan oleh rasa takut.
Babi hutan yang marah itu merundukkan kepalanya, ia menggeram dengan suara mengerikan, dan sekejap kemudian berlari menyeruduk.
Kyra memandang dengan ngeri saat babi hutan itu menyerang kedua kakaknya. Itulah gerakan tercepat yang pernah ia lihat dari seekor binatang berukuran sebesar babi hutan itu, yang berlari melintasi rumput bagaikan seekor rusa.
Saat babi hutan itu mendekat, Brandon dan Braxton lari menyelamatkan diri, tunggang langgang ke segala arah.
Tinggal Aidan yang berdiri di sana, terpaku seorang diri, bergeming dalam takut. Mulutnya ternganga, genggamannya mengendur dan tombak terlepas dari tangannya, terjatuh ke tanah. Namun kira tahu bahwa toh tak akan ada bedanya; Aidan takkan mampu bertahan meskipun ia mencobanya. Bahkan seorang pria dewasa pun takkan sanggup. Dan babi hutan yang menyadari betapa lemah adikna itu pun mengalihkan sasaranya pada Aidan dan mengincarnya.
Dengan jantung berdegup kencang, Kyra segera bertindak karena ia tahu bahwa itulah satu-satunya kesempatan yang dimilikinya. Tanpa pikir panjang, ia berlari maju lewat sela-sela pepohonan, dengan busur yang telah siap di genggamannya karena ia hanya punya satu kesempatan membidik, dan bidikannya harus tepat. Dalam keadaan kalut semacam itu, sulit sekali membidik dengan baik, pun bila babi hutan itu tidak sedang berlari—tapi ia harus membidik dengan sempurna jika ingin nyawanya selamat.
"AIDAN, TIARAP!" teriaknya.
Mulanya Aidan bergeming. Aidan menghalanginya untuk membidik dengan tepat, dan saat Kyra mengangkat busurnya lalu berlari maju, ia sadar bahwa jika Aidan tidak segera bergerak maka satu-satunya kesempatan itu akan terlewatkan. Berlari dalam hutan semacam itu membuat kakinya terpeleset salju dan tanah yang basah, dan ia sempat merasa bahwa kesempatannya akan hilang.
"AIDAN!" teriaknya lagi dengan putus asa.
Ajaibnya, kali ini Aidan mendengar teriakan itu lalu bertiarap tepat pada saat-saat terakhir sehingga memberi ruang bagi Kyra untuk melepaskan anak panahnya.
Saat babi hutan itu hendak menyerang Aidan, tiba-tiba waktu seolah berjalan melambat bagi Kyra. Ia merasa bagai memasuki sebuah dunia lain, ada sesuatu yang bangkit dari dalam dirinya yang belum pernah ia rasakan sebelumnya, dan sekaligus ia tak memahaminya. Dunia seolah menyempit dan terpusat di satu titik. Ia dapat mendengar detak jantungnya sendiri, deru nafasnya, bunyi gemerisik dedaunan, dan burung-burung gagak yang berkoar-koar di udara. Ia merasa menyatu dengan alam lebih dari sebelumnya, seolah ia telah memasuki sebuah dunia di mana ia melebur dengan alam semesta.
Kyra merasa telapak tangannya dijalari suatu energi yang hangat dan menggelitik, dan ia tak mampu memahaminya; seolah ada kekuatan asing yang merasuk dalam tubuhnya. Seolah dalam sekejap saja ia berubah menjadi seseorang yang lebih besar dari dirinya sendiri, jauh lebih kuat.
Kyra memasuki alam bawah sadar di mana pikirannya tak lagi bekerja, dan ia membiarkan dirinya digerakkan oleh naluri yang murni, dan oleh kekuatan baru yang mengalir di dalam tubuhnya. Ia berdiri dengan kokoh, mengangkat busurnya, menyiapkan anak panah dan melesatkannya.
Tepat pada saat anak panah itu melesat, ia merasa bahwa bidikan itu adalah bidikan yang istimewa. Ia tak perlu mengarahkan ke mana anak panah itu harus melesat sesuai incarannya: mata kanan babi hutan itu. Ia memanah dengan sekuat tenaga sehingga anak panah itu menancap saat babi hutan itu tinggal berjarak nyaris satu kaki darinya sebelum akhirnya tumbang.
Babi hutan itu pun sekonyong-konyong mengerang saat kakinya saling tersandung, lalu roboh dengan kepala terjerembab. Tubuhnya tergelangsar dekat penghabisan tanah padang itu, menggeliat-geliat, masih bernyawa, hingga sampai di tempat Aidan. Akhirnya tubuh babi hutan itu berhenti tepat satu kaki jaraknya dari Aidan, amat dekat hingga nyaris bersentuhan dengannya.
Babi hutan itu mengejang di tanah, dan Kyra yang telah menyiapkan sebuah anak panah lagi, berjalan menghampirinya lalu berdiri mengangkangi tubuh babi hutan itu, kemudian ia hunjamkan lagi anak panah itu ke belakang batok kepala babi hutan. Akhirnya tubuh itu tak bergerak-gerak lagi.
Kyra berdiri membisu di tanah padang; jantungnya berdegup, rasa menggelitik di telapak tangannya berangsur surut, energi itu perlahan lenyap, dan ia terheran-heran atas apa yang baru saja terjadi. Benarkah ia yang memanah babi hutan itu?
Tiba-tiba ia teringat akan Aidan, dan saat ia meraih dan merengkuhnya, Aidan menatapnya seolah ia sedang menatap ibunya; matanya masih menyiratkan ketakutan, namun ia selamat. Ia merasakan setitik kelegaan saat menyadari bahwa dirinya baik-baik saja.
Kyra berpaling dan melihat kedua kakaknya masih bertiarap di tanah, sembari memandangnya dengan tertegun—dan kagum. Namun ada isyarat lain dalam tatapan mata mereka, sesuatu yang membuatnya gusar: kecurigaan. Seolah Kyra berbeda dengan mereka. Bagai seorang asing. Itu adalah tatap mata yang pernah Kyra lihat sebelumnya, kadang-kadang saja, namun cukup sering untuk membuat kira pun terheran-heran akan dirinya sendiri. Ia berbalik dan memandang binatang yang telah tewas itu, binatang yang mengerikan, besar; ia tertegun dan keheranan, bagaimana mungkin seorang gadis berusia lima belas tahun seperti dirinya mampu melakukan hal ini. Ia tahu bahwa ini di luar kemampuannya. Ini bukan sekadar bidikan yang beruntung.
Selalu ada sesuatu dalam dirinya yang berbeda dari saudara-saudaranya. Ia berdiri saja di sana, membeku, ingin rasanya bergerak namun tak sanggup. Ia tahu bahwa yang membuatnya terguncang bukanlah binatang buas itu, melainkan cara kedua kakaknya memandang dirinya. Dan untuk kesekian kalinya ia tak mampu memahami jawaban dari pertanyaan yang tak pernah berani ia cari seumur hidupnya.
Siapakah sebenarnya dirinya?
BAB TIGA
Kyra berjalan di belakang saudara-saudaranya menyusuri jalan kembali ke benteng, sambil memandang mereka yang kerepotan memanggul beratnya babi hutan itu; Aidan ada di sampingnya dan Leo mengikutinya di belakang, ia telah kembali dari perburuannya sendiri. Brandon dan Braxton bersusah payah membawa binatang yang telah mati itu, yang terikat pada kedua tombak mereka dan dipanggulnya di bahu. Suasana hati mereka yang suram telah berubah drastis sejak keluar dari hutan dan kembali melihat langit luas, apalagi kini benteng ayah mereka telah terlihat. Langkah demi langkah, kepercayaan diri Brandon dan Braxton telah kembali, sebentar lagi kesombongan mereka akan muncul lagi; saat ini mereka mulai tertawa-tawa dan saling menggoda sembari membual tentang hasil buruan mereka.
"Tombakkulah yang menggores babi hutan itu," kata Brandon paa Braxton.
Braxton menimpali "Tetapi, tombakku yang membuatnya berlari ke arah panah Kyra."
Kyra menyimak, mukanya merah mendengar bualan mereka; kedua kakaknya yang bodoh lagi keras kepala itu mulai meyakinkan diri tentang cerita bualan mereka sendiri, dan sepertinya kini mereka mulai mempercayainya. Kyra telah siap dengan bualan mereka saat kembali ke benteng ayahnya nanti, kemudian mereka akan bercerita pada semua orang tentang buruan yang mereka bunuh itu.
Benar-benar menyebalkan! Namun ia merasa bukan tugasnya untuk menegur mereka. Ia benar-benar yakin akan roda keadilan, dan ia tahu bahwa pada akhirnya, kebenaran akan selalu terbukti.
"Dasar pembohong," kata Aidan sembari berjalan di belakang Kyra; tampak jelas bahwa Aidan masih gemetaran karena kejadian di hutan tadi. "Kalian tahu bahwa Kyra-lah yang membunuh babi hutan itu."
Brandon melirik sekilas ke belakang sekenanya, seolah Aidan tak lebih dari seekor serangga saja.
"Dan kau sendiri?" tanyanya pada Aidan. "Kau sibuk terkencing-kencing di celana."
Mereka berdua tertawa tergelak, seakan makin menegaskan bualan mereka.
"Dan kau tidak lari ketakutan?" tanya Kyra membela Aidan; ia sudah tak tahan lagi.
Mendengar itu, kedua kakaknya hanya bisa terdiam. Kyra dapat dengan mudah membungkam mereka—namun ia tak perlu berkata dengan suara yang meninggi. Kyra berjalan dengan riang, merasa senang pada dirinya sendiri karena dalam hati ia merasa telah menyelamatkan nyawa saudaranya; itu sajalah kepuasan yang ingin ia dapatkan.
Kyra merasa sebuah tangan kecil menyentuh bahunya, dan ia menoleh kepada Aidan yang tersenyum dan menghiburnya; tergambar jelas raut muka penuh syukur karena ia selamat dan baik-baik saja. Kyra bertanya-tanya adakah kedua kakaknya itu juga menghargai apa yang telah ia lakukan bagi mereka; toh, andaikan ia tak muncul tepat pada waktunya, mereka berdua juga akan tewas oleh babi hutan itu.
Kyra memandang babi hutan yang bergucang-guncang di depannya seiring tiap langkah kaki, dan ia pun menyeringai; ia berharap kedua kakaknya membiarkan saja babi hutan itu di ladang, tempat ia seharusnya berada. Babi hutan itu adalah binatang yang terkutuk, bukan milik Volis, dan tempatnya bukanlah di sini. Binatang itu adalah pertanda buruk, apalagi asalnya dari Hutan Akasia, lagipula ini adalah perayaan Bulan Musim Dingin. Ia teringat sebuah pepatah kuno yang pernah dibacanya: jangan membual setelah luput dari maut. Ia merasa bahwa kedua kakaknya itu bermain-main dengan takdir, mengundang malapetaka ke rumah. Ia tak dapat berbuat apa-apa, namun tampaknya akan muncul hal-hal yang buruk.