Mereka mendaki bukit dan setelah tiba di puncaknya, terlihatlah benteng ayahnya terbentang di depan mereka, dengan seluruh pemandangan yang melingkunginya. Meskipun angin bertiup makin kencang dan salju turun makin deras, Kyra merasakan kelegaan karena telah pulang ke rumah. Asap membumbung dari cerobong yang tampak bagai noktah hitam di sekitar pedesaan dan benteng ayahnya memancarkan pendar lembut dan redup, penuh dengan nyala api yang temaram, menerangi senja yang mulai datang. Jalanan mulai melebar, lebih rata saat makin dekat dengan jembatan, dan mereka mempercepat langkah serta berjalan dengan lebih bersemangat saat makin dekat dengan benteng. Jalan itu sibuk dengan hilir mudik orang, mereka bersemangat menyambut datangnya pesta perayaan meskipun di tengah cuaca yang buruk dan malam yang hampir tiba.
Kyra keheranan. Pesta perayaan Bulan Musim Dingin adalah salah satu perayaan terpenting dalam setiap tahun, dan semua orang sibuk mempersiapkan pesta itu. Banyak orang berkerumun di atas jembatan gantung, bergegas membeli barang-barang dari pedagang untuk mengikuti pesta di dalam benteng—sementara orang-orang yang keluar dari gerbang pun tak kalah banyaknya, bergegas pulang ke rumah untuk merayakannya bersama keluarga. Lembu-lembu menarik pedati dan mengangkut barang dari kedua arah, sementara para tukang batu menggepuk dan membelah batu di dekat tembok yang baru dibangun mengelilingi benteng; denting palu yang beradu terdengar di udara, bergantian dengan suara ternak dan lolongan anjing. Kyra tak paham bagaimana mereka mampu terus bekerja di tengah cuaca seperti ini, bagaimana tangan mereka tak membeku kedinginan.
Saat tiba di jembatan, mereka pun berbaur dengan orang banyak, lalu Kyra memandang jauh ke depan dan merasa muak karena apa yang dilihatnya di dekat gerbang benteng, yaitu beberapa Pasukan Pengawal, para prajurit pengawal Tuan Gubernur yang ditugaskan oleh Pandesia, dalam balutan baju zirah merah yang khas. Terbersit olehnya kegeraman akan apa yang dilihatnya itu, sama seperti kebencian yang dirasakan semua orang. Keberadaan Pasukan Pengawal selalu terasa menyesakkan—terlebih lagi pada saat pesta Bulan Musim Dingin, di mana mereka datang hanya untuk meminta segala rupa pungutan yang dapat mereka minta dari penduduk. Bagi Kyra, mereka ini tak ubahnya pemulung; perusuh dan pemulung yang menjadi kaki tangan para bangsawan busuk yang menduduki kekuasaan sejak invasi Pandesia.
Semua ini adalah salah Raja mereka sebelumnya, yang menyerah kepada Pandesia—namun kini tak ada gunanya. Sekarang sungguh memalukan, mereka harus tunduk hormat pada pasukan-pasukan ini. Hal ini membuat Kyra dipenuhi oleh amarah. Ketundukan itu membuat ayahnya dan prajurit-prajurit terbaiknya—serta semua kawan Kyra—menjadi tak lebih dari sekadar budak yang diangkat derajatnya; Kyra sungguh ingin mereka bangkit, berjuang demi kebebasannya, bertempur dalam perang yang tak berani dilakukan oleh Raja mereka yang terdahulu. Namun ia juga tahu bahwa jika mereka bangkit sekarang, maka mereka harus menghadapi kemurkaan Pasukan Pengawal. Mungkin mereka bisa mencegahnya jika mereka tak membiarkan para pasukan itu berkuasa; namun setelah kini para pasukan itu telah bercokol cukup lama, maka mereka tak punya banyak pilihan lagi.
Kyra dan ketiga saudaranya tiba di jembatan, berjalan di tengah-tengah keramaian orang, dan saat mereka lewat, orang-orang itu berhenti sejenak dari kesibukannya, memandang mereka dan menunjuk-nunjuk babi hutan itu. Kyra puas juga melihat kedua kakaknya bermandi keringat, terengah-engah memanggul babi hutan. Semua orang -baik penduduk desa maupun para prajurit- menoleh dan mulut mereka melongo, terkesima oleh besarnya babi hutan itu. Kyra juga mendapati tatap mata yang menyiratkan kekhawatiran tentang takhayul; sama seperti dirinya, beberapa orang di situ juga menduga-duga apakah babi hutan itu merupakan pertanda buruk.
Yang jelas, semua mata tertuju pada kedua kakaknya dengan penuh kebanggan.
"Tangkapan bagus untuk pesta nanti!" seru seorang petani yang tengah menuntun lembunya sembari menyusuri jalan bersama dengan mereka.
Raut muka Brandon dan Braxton pun berseri-seri bangga.
"Babi hutan itu cukup untuk santapan separuh tamu ayahmu!" teriak seorang tukang daging.
"Bagaimana caramu menangkapnya?" tanya seorang perajin pelana.
Kedua kakaknya saling berpandangan, dan Brandon akhirnya tersenyum lebar pada perajin itu.
"Bidikan yang jitu dan keberanian," jawab Brandon mantap.
"Jika kalian tak berani masuk ke hutan, maka kalian takkan tau apa yang bisa kalian dapatkan," imbuh Braxton.
Beberapa orang lain bersorak dan bertepuk tangan di belakang mereka. Kyra sendiri hanya diam. Ia tak butuh pengakuan dari orang-orang ini, karena ia tahu pasti apa yang telah dilakukannya.
"Bukan mereka yang membunuh babi hutannya!" Teriak Aidan geram.
"Diam kau!" Brandon menoleh dan menghardiknya pelan. "Sekali lagi kau ulangi, akan kuberitahu mereka bahwa kau terkencing-kencing di celana karena dikejar babi hutan."
"Tapi aku tidak terkencing di celana!" sanggah Aidan.
"Menurutmu mereka akan percaya pada omonganmu?" tambah Braxton.
Brandon dan Braxton tertawa, lalu Aidan memandang Kyra seakan ingin tahu apa yang akan Kyra lakukan selanjutnya.
Kyra hanya menggeleng.
"Jangan buang-buang tenaga," katanya pada Aidan. "Kebenaran selalu menang."
Kerumunan orang semakin ramai saat mereka melintasi jembatan; bahu mereka terus saling bersinggungan dengan orang-orang saat melewati atas parit. Kyra dapat merasakan kegembiraan menguar di udara seiring senja tiba, obor-obor menyala menerangi sisi atas dan bawah jembatan, dan salju turun semakin deras. Ia memandang ke depan dan seperti biasanya, jantungnya berdegup kencang saat melihat gerbang batu besar berbentuk melengkung di muka benteng, yang dijaga oleh selusin pasukan ayahnya. Di puncak lengkungan itu mencuat ujung-ujung tajam dari pintu gerbang besi yang tergantung; batang-batang besi yang tajam dan tebal itu cukup kokoh untuk menghalangi musuh, dan gerbang itu siap ditutup hanya dengan isyarat terompet tanda bahaya. Gerbang itu tergantung tiga puluh kaki tingginya, dan di atasnya terdapat sebuah lantai lebar yang membentang mengelilingi seluruh benteng, dinding pertahanan dari batu tempat penjaga yang selalu mengawasi dengan mata yang siaga. Volis adalah sebuah benteng yang kuat, dan Kyra selalu bangga akan benteng tersebut. Yang membuatnya semakin bangga adalah para pasukan di dalamnya, anak buah ayahnya, prajurit-prajurit terbaik Escalon, yang sedikit demi sedikit berkumpul kembali di Volis setelah tercerai berai sejak menyerahnya sang Raja; mereka bagai magnet yang menempel pada ayahnya. Berulang kali ia mendesak ayahnya agar menobatkan diri sebagai Raja yang baru, seperti halnya yang diinginkan oleh banyak orang—namun sang ayah hanya menggelengkan kepala dan berkata bahwa itu bukanlah takdirnya.
Ketika mereka telah dekat dengan gerbang, selusin anak buah ayahnya lewat dengan berkendara di atas kuda, dan orang-orang pun menyingkir memberi jalan pada mereka yang hendak menuju ke arena latihan, sebuah tanggul melingkar yang lebar pada sebidang tanah lapang di luar benteng yang dikelilingi oleh dinding batu rendah. Kyra berpaling dan memandang mereka berlalu, dan jantungnya berdegup makin kencang. Arena latihan adalah tempat kesukaannya. Ia suka pergi ke sana dan menyaksikan para prajurit itu berlatih selama berjam-jam, memelajari tiap gerakan yang mereka lakukan, cara mereka menunggang kuda, bagaimana mereka menghunus pedang, melontarkan tombak, atau mengayunkan bola berduri. Para prajurit ini tetap berlatih meskipun malam hampir tiba dan salju turun, meskipun sebuah pesta perayaan akan digelar pada hari itu, semata-mata karena mereka ingin berlatih agar lebih mahir, karena mereka lebih suka terjun ke medan pertempuran daripada berpesta di dalam ruangan, seperti dirinya. Bagi Kyra, mereka ini adalah prajurit-prajurit sejati.
Sepasukan prajurit lain melintas dengan berjalan kaki, dan saat berpapasan dengan Kyra dan saudara-saudaranya di gerbang benteng, para prajurit ini serta kerumunan orang lain di situ memberinya jalan, agar Brandon dan Braxton yang memanggul babi hutan dapat lewat dengan mudah. Mereka bersiul tanda kagum dan berkumpul; mereka adalah pria-pria besar berotot kekar, dengan tubuh satu kaki lebih tinggi dari kedua kakaknya yang tak bisa dibilang kecil, dan kebanyakan dari mereka memiliki jenggot yang sedikit beruban; mereka semua adalah pria-pria terlatih berusia tiga puluhan dan empat puluhan yang telah malang melintang dalam banyak pertempuran, yang telah mengabdi pada Sang Raja dan menanggung kehinaan karena Sang Raja akhirnya menyerah. Mereka adalah para pria yang tak akan pernah sudi menyerah. Pria-pria ini adalah orang-orang berpengalaman dan tak mudah kagum—namun kali ini sepertinya mereka terkagum-kagum akan babi hutan itu.
"Kalian sendiri yang membunuhnya, bukan begitu?" salah satu dari mereka menanyai Brandon, lalu mendekat dan mengamati babi hutan itu.
Kerumunan makin bertambah dan Brandon serta Braxton akhirnya berhenti, menanggapi pujian dan kekaguman pria-pria hebat itu, sembari berusaha mati-matian agar nafasnya tak terlihat terengah-engah.
"Ya, benar!" seru Braxton dengan bangga.
"Babi hutan Tanduk Hitam," kata seorang prajurit lain setelah mendekat dan meraba punggung babi hutan. "Tak pernah kulihat lagi sejak aku kecil. Aku pernah ikut membantu membunuh babi hutan semacam ini—namun saat itu aku bersama dengan banyak orang—dan dua dari antara mereka harus kehilangan jari-jari di tangannya."
"Yah, dan kami tidak kehilangan apa pun," tukas Braxton mantap. "Kecuali sebuah mata tombak."
Emosi Kyra terbakar saat para prajurit itu tertawa karena kagum akan hasil buruan itu; akan tetapi, seorang prajurit lain, pemimpin mereka, yaitu Anvin, melangkah maju dan memeriksa babi hutan itu dengan saksama. Para prajurit lain minggir, memberinya ruang karena rasa segan mereka padanya.
Anvin, komandan pasukan ayahnya, adalah pria yang paling Kyra kagumi; ia hanya tunduk pada ayahnya, dan dialah pemimpin para prajurit terbaik ini. Anvin bagaikan ayah kedua bagi Kyra, dan Kyra telah mengenalnya sejak kecil. Ia tahu bahwa Anvin amat menyayanginya, dan Anvin selalu menjaganya; dan yang paling penting, Anvin selalu meluangkan waktu baginya, mengajarinya teknik-teknik bertarung dan ilmu senjata, sedangkan tak satu pun prajurit lain mau melakukannya. Bahkan tak hanya sekali Anvin mengizinkannya berlatih bersama para prajurit yang lain, dan Kyra selalu menikmati setiap kesempatan yang diberikan padanya. Anvin adalah pria terkuat di antara mereka semua, namun sekaligus pria yang paling baik hati—tentunya pada orang-orang yang Anvin sukai. Pada orang lain yang tak Anvin sukai, Kyra hanya bisa turut prihatin.
Anvin sangat membenci kebohongan; ia adalah jenis pria yang harus selalu mengetahui kebenaran dari segala sesuatu, sesamar apa pun kebenaran itu. Ia memiliki mata yang jeli, dan saat ia melangkah maju lalu memeriksa babi hutan itu dengan cermat, Kyra melihatnya berhenti dan mengamati dua buah luka bekas anak panah. Anvin memiliki mata yang teliti, dan ia adalah satu-satunya orang yang mampu melihat kebenaran yang tersembunyi.
Anvin mengamati baik-baik dua buah bekas luka itu, memeriksa mata panah kecil yang masih menancap di dalamnya, serta serpihan kayu pada anak panah yang dipatahkan oleh kedua kakaknya. Kakak-kakaknya mematahkan anak panah dekat sekali dengan ujung mata panahnya, sehingga semua orang nyaris tak mengetahui apa sebenarnya yang melumpuhkan babi hutan itu. Namun Anvin bukanlah orang sembarangan.
Kyra melihat Anvin yang mengamati luka itu; mata Anvin menyipit dan Kyra tahu bahwa dalam sekejap Anvin telah mengetahui kejadian yang sebenarnya. Anvin membungkuk, melepaskan sarung tangannya, memegang mata babi hutan itu lalu mengambil mata panah yang menancap di sana. Ia mengacungkannya, masih berlumuran darah; lalu ia berpaling pada kedua kakaknya dengan tatap mata curiga.
"Mata tombak, betul?" tanya Anvin menyanggah.
Kerumunan orang terdiam dan tegang karena Brandon dan Braxton tampak gugup. Mereka gelisah.
Kemudian Anvin memandang Kyra.
"Atau sebuah mata panah?" imbuhnya, dan Kyra merasa ini masih akan berlanjut hingga Anvin membuat kesimpulannya.
Anvin berjalan menghampiri Kyra, mengambil sebuah anak panah dari sarungnya, dan menjajarkannya dengan mata panah tadi. Semua orang bisa melihat, bahwa keduanya sama persis. Ia memandang Kyra dengan tatapan bangga dan penuh makna, dan Kyra merasa kini semua mata tertuju padanya.
"Bidikanmu, benar?" tanya Anvin padanya. Namun kata-kata itu lebih mirip pernyataan daripada pertanyaan.
Kyra mengangguk.
"Benar," jawabnya datar; ia senang karena Anvin memberikan sebuah pengakuan atas kemampuannya, dan dengan begitu ia merasa bahwa kebenaran akhirnya terbukti.
"Dan bidikan itulah yang melumpuhkannya," ujar Anvin menyimpulkan. Sekali lagi kata-kata itu adalah sebuah pernyataan, bukan pertanyaan; keputusan yang mantap dan tegas setelah mengamati babi hutan itu.
"Aku tidak melihat luka lain selain dua buah luka akibat anak panah ini," tambah Anvin seraya tangannya meraba babi hutan itu—lalu berhenti di telinganya. Anvin mengamati telinga babi hutan itu, lalu berpaling dan menatap Brandon serta Braxton dengan pandangan mencemooh. "Kecuali jika kalian menyebut goresan mata tombak ini sebagai luka."
Anvin menegakkan telinga babi hutan itu, dan muka Brandon serta Braxton merah padam saat para prajurit di situ tertawa terbahak-bahak.
Seorang prajurit termashyur anak buah ayahnya maju ke depan—Vidar, sahabat karib Anvin, seorang pria pendek dan kurus berusia tiga puluhan, dengan wajah suram dan bekas luka melintang di hidungnya. Dengan postur tubuhnya yang kecil, ia terlihat tak cocok menjadi prajurit; namun Kyra mengenal seperti apa sesungguhnya pria ini: Vidar keras bagaikan batu, ia terkenal akan kemampuan bertarung dengan tangan kosong. Ia adalah salah satu prajurit tertangguh yang pernah Kyra kenal, yang pernah merobohkan dua pria dengan badan dua kali lebih besar darinya. Karena tubuh kecilnya itu, banyak orang yang sembrono menjajal kemampuannya—dan akhirnya harus membayar mahal demi mendapatkan pelajaran berharga. Pria ini pun adalah pembimbing Kyra, dan ia selalu melindunginya.
"Sepertinya bidikan mereka berdua meleset," simpul Vidar, "dan gadis ini menyelamatkan nyawa mereka. Siapa yang mengajari kalian menombak?"
Brandon dan Braxton terlihat sangat gugup karena kebohongannya terkuak, dan tak satu pun dari mereka berani angkat bicara.
"Berbohong tentang hasil buruan adalah sesuatu yang sangat menyedihkan," kata Anvin muram, sembari memandang kedua kakaknya. "Enyahlah sekarang juga. Ayah kalian ingin mendengar pengakuan jujurmu."
Brandon dan Braxton hanya dapat berdiri sambil belingsatan, jelas mereka merasa kikuk, saling memandang seolah berdebat jawaban apa yang harus mereka berikan. Sejauh ingatan Kyra, baru kali ini lidah kedua kakaknya kelu tak dapat berkata apa-apa.
Tepat saat kakak-kakaknya ini hendak mengucapkan sesuatu, sekonyong-konyong sebuah suara asing menyela.
"Tak peduli siapa yang membunuhnya," kata suara itu. "Babi hutan itu sekarang menjadi milik kami."
Kyra dan semua orang di situ berpaling, terkejut akan suara kasar dan asing itu—dan perutnya mendadak mual saat ia melihat segerombolan Pasukan Pengawal dengan baju zirahnya yang mencolok merangsek maju, dan orang-orang pun menyingkir. Mereka mendekati babi hutan itu, memandanginya dengan rakus, dan Kyra tahu bahwa mereka menginginkan hasil buruan ini—bukan lantaran mereka memang memerlukannya, namun sekadar demi mempermalukan orang-orang di situ, dengan merampas apa yang mereka banggakan. Leo menggeram di sampingnya, lalu ia mengelus lehernya untuk menenangkan dan menahannya.