Bangkitnya Para Naga - Морган Райс 5 стр.


"Atas nama Tuan Gubernur, kami ambil babi hutan ini," kata Pemimpin Pasukan Pengawal, seorang prajurit berbadan gempal dengan kening yang rendah, alis tebal, perut buncit dan wajah tolol yang berkerut. "Beliau berterima kasih atas hadiah dari kalian pada pesta perayaan ini."

Ia memberi isyarat pada anak buahnya dan mereka pun maju mendekati babi hutan itu, lalu hendak mengambilnya.

Tiba-tiba Anvin melangkah dengan Vidar di sisinya, lalu menghalangi mereka.

Orang-orang terkesiap—tak seorang pun berani menentang Pasukan Pengawal; demikianlah bunyi aturan tak tertulisnya. Tak seorang pun ingin menyulut amarah Pandesia.

"Setahuku, tak ada yang memberikan hadiah ini padamu," kata Anvin dengan suara dingin, "tidak juga pada Tuan Gubernur."

Kerumunan orang bertambah banyak, ratusan penduduk desa berkumpul untuk menyaksikan perselisihan ini, dan merasa bahwa pertikaian akan timbul. Saat itu juga, beberapa orang yang lain menyingkir, memberi ruang bagi dua orang yang tengah saling berhadapan ini, dan suasana pun semakin menegangkan.

Kyra merasa jantungnya berdegup kencang. Tak sadar, tangannya menggenggam erat busur miliknya karena suasana makin memanas. Seberapa pun ia menginginkan pertempuran dan menginginkan kebebasan, ia juga tahu bahwa orang-orang ini tak sanggup menanggung murka Tuan Gubernur; bahkan jika entah bagaimana mereka mampu mengalahkan para Pasukan Pengawal ini, Kerajaan Pandesia telah siap di belakang Pasukan Pengawal. Pandesia sanggup mengumpulkan pasukannya yang luar biasa banyak.

Namun di saat yang sama, Kyra sangat bangga pada Anvin yang berani menghadapi mereka. Akhirnya, ada juga seseorang yang berani menghadapinya.

Pemimpin Pasukan itu memandang Anvin dengan marah.

"Beraninya kau membantah Tuan Gubernur?" tanyanya.

Anvin bergeming.

"Babi hutan ini milik kami—tak seorang pun sudi memberikannya padamu," kata Anvin.

"Tadinya milik kalian, tapi sekarang ini milik kami," sanggah Pemimpin Pasukan Pengawal. Ia memandang anak buahnya. "Ambil babi hutan ini," perintahnya.

Para Pasukan Pengawal maju, dan pada saat yang sama para pasukan ayahnya pun maju, mendukung Anvin dan Vidar, menghalangi jalan Pasukan Pengawal, dengan senjata yang siap terhunus.

Ketegangan makin memuncak, Kyra menggenggam erat-erat busurnya hingga buku-buku jarinya berwarna putih; ia berdiri di situ dengan perasaan yang amat ngeri, ia merasa dirinyalah yang mengakibatkan masalah ini timbul, karena dialah yang membunuh babi hutan itu. Firasatnya berkata bahwa akan terjadi hal yang buruk, dan ia menyumpahi kedua kakaknya yang membawa pulang binatang terkutuk itu ke desa, terlebih saat ini adalah Bulan Musim Dingin. Keanehan-keanehan selalu muncul pada saat pesta perayaan; itulah saat-saat mistis di mana konon arwah orang mati akan menyeberang ke alam lain. Mengapa pula kedua kakaknya ini memanggil arwah-arwah itu dengan cara demikian?

Saat kedua pemimpin pasukan itu saling berhadapan, anak buah ayahnya telah bersiap menghunus pedang, dan pertumpahan darah akan pecah sebentar lagi; tiba-tiba sebuah suara berwibawa terpekik di udara, memecah kesunyian.

"Buruan ini milik gadis itu!" demikian kata suara itu.

Suara itu lantang dan mantap, sebuah suara yang mampu mengalihkan perhatian, suara yang Kyra kagumi dan hormati lebih dari apa pun di dunia ini; itulah suara ayahnya, Komandan Duncan.

Semua mata tertuju padanya saat sang ayah tiba, lalu kerumunan orang banyak menyingkir dengan segan, memberinya jalan. Ia berdiri di situ dengan badannya yang tegap, dua kali lebih tinggi dari semua orang di situ, dengan dada yang jauh lebih bidang, dengan jenggot coklatnya yang lebat dan rambut panjang kecoklatan, dihiasi oleh semburat abu-abu dari ubannya; bahunya berbalut mantel bulu dan dua buah pedang panjang tersandang di pinggangnya, serta sebuah tombak tersampir di punggungnya. Baju yang dikenakannya adalah zirah hitam Volis, dengan ukiran naga di bagian dadanya, yang menjadi lambang desanya. Pedangnya terasah oleh begitu banyak pertempuran, dan ia sendiri memancarkan pengalaman yang mumpuni. Ia adalah seseorang yang pantas ditakuti, seorang pria yang layak dikagumi, seorang pria yang terkenal adil dan bijaksana. Ia adalah sosok yang dicintai, dan yang paling penting, ia adalah seseorang yang terhormat.

"Babi hutan itu milik Kyra," ulangnya, melihat sekilas penuh sanggahan pada kedua kakaknya, lalu berpaling dan menatap Kyra; tak dipedulikannya para Pasukan Pengawal di situ. "Biarlah ia yang menentukan nasibnya."

Kyra terkesiap oleh kata-kata ayahnya. Ia tak pernah menduga kata-kata itu, tak pernah pula ia menduga akan diberi tanggung jawab seperti ini, sehingga ia harus membuat keputusan yang sulit. Mereka berdua tahu bahwa ini lebih dari sekadar keputusan soal seekor babi hutan, namun ini soal nasib rakyat mereka.

Kedua belah pasukan yang tegang berjajar berhadapan, semuanya siap menghunus pedang; dan saat Kyra memandangi wajah-wajah itu, mereka semua berpaling padanya, semua menunggu jawabannya; ia mengerti benar, pilihan yang akan ia buat, kata-kata yang akan ia ucapkan, akan menjadi kata-kata paling penting yang pernah keluar dari mulutnya.

BAB EMPAT

Merk menyusuri jalan setapak di dalam hutan dengan perlahan, ia tengah menuju ke Whitewood, sembari merenungi hidupnya. Empat puluh satu tahun dalam hidupnya adalah masa yang berat; ia belum pernah meluangkan waktu untuk berjalan menyusuri hutan, demi mengagumi keindahan di sekitarnya. Ia memandang dedaunan putih yang bergemerisik di bawah kakinya, ditingkahi bunyi tongkatnya saat ia menapakkak kakinya di tanah hutan yang lunak; ia memandang ke depan sembari berjalan, menikmati keindahan pepohonan Aesop, dengan daun-daun putihnya dan cabang-cabang merah merona, gemerlapan tertimpa sinar matahari pagi. Daun-daun gugur menimpanya bagai salju yang turun, dan untuk kali pertama dalam hidupnya, ia merasakan suasana damai yang sejati.

Dengan tinggi badan dan posturnya yang sedang, rambutnya yang hitam legam, wajah yang lama tak bercukur, rahang lebar, tulang pipi yang panjang dan menonjol, serta mata hitam yang lebar dengan kantung mata hitam di bawahnya, Merk selalu terlihat seperti orang yang kurang tidur. Dan memang itulah yang ia rasakan. Kecuali hari ini. Hari ini, ia akhirnya merasa dapat beristirahat. Di sini, di Ur, di ujung timur laut Escalon, salju tidak turun. Angin hangat berembus dari laut, namun saat angin bertiup ke barat, cuaca menjadi lebih hangat dan bunga-bunga beraneka warna akan mekar. Cuaca seperti itu membuat Merk bisa singgah hanya dengan mengenakan sepotong jubah, tanpa harus menghangatkan diri dari angin yang dingin, seperti kebanyakan orang di Escalon. Ia masih membiasakan diri mengenakan jubah untuk menggantikan baju zirah, menggunakan tongkat sebagai pengganti pedang, dan menumpukan tongkatnya pada dedaunan alih-alih menusuk lawannya dengan pisau belati. Ini semua adalah sesuatu yang baru baginya. Ia tengah mencoba seperti apa rasanya menjadi seseorang yang ia dambakan. Rasanya sangat damai—namun ganjil. Seolah ia sedang berpura-pura menjadi orang lain.

Itu semua lantaran Merk bukanlah seorang pengelana, dan bukan seorang pertapa—pun ia bukanlah seorang pecinta damai. Dalam dirinya, mengalir darah seorang prajurit. Dan ia bukanlah prajurit sembarangan; ia adalah seseorang yang bertempur dengan caranya sendiri, dan ia tak pernah kalah. Ia adalah seorang pria yang tak takut menghadapi pertempuran, entah itu pertempuran dengan tombak di atas kudanya atau perkelahian di kedai minum yang sering ia kunjungi. Seperti sebutan orang-orang, ia adalah seorang prajurit bayaran. Seorang pembunuh. Ahli pedang bayaran. Ada banyak julukan untuk dirinya, termasuk julukan yang kurang ajar; namun Merk tak ambil pusing soal julukan, pun tak peduli akan anggapan orang atas dirinya. Yang ia pedulikan hanyalah bahwa ia merupakan salah satu petarung terbaik.

Sesuai dengan pekerjaannya, Merk memiliki banyak nama yang dapat ia ganti-ganti sesukanya. Ia tak suka dengan nama pemberian ayahnya—dan sesungguhnya ia pun tak menyukai ayahnya—, maka ia tak akan menjalani hidup cukup dengan satu nama yang diberikan orang padanya. Merk adalah orang yang paling sering berganti nama, dan ia menyukai nama yang dipakainya saat ini. Ia tak peduli orang lain akan memanggilnya dengan nama yang mana. Hanya dua hal yang ia pedulikan dalam hidup ini, yaitu: menemukan tempat yang tepat untuk menancapkan belatinya, dan memastikan bahwa orang yang menyewanya membayar upahnya dengan emas, dalam jumlah yang besar.

Sejak kecil Merk sadar bahwa ia memiliki bakat alami, yang membuatnya selalu lebih unggul dari orang lain dalam segala hal. Saudara-saudara laki-lakinya, sama seperti ayah dan moyangnya yang termashyur, adalah para bangsawan luhur dan terhormat, dalam balutan baju zirah, berlapis besi terbaik, menunggang kuda, mengibarkan panji-panji kebesaran dengan rambut yang indah serta memenangkan perlombaan, lantas para gadis terpesona, menaburkan bunga di bawah kaki mereka. Mereka amat bangga pada dirinya sendiri.

Toh, Merk tak suka dengan segala kemegahan dan kegemerlapan itu. Para ksatria itu tampak kaku saat bertarung, sangat tak cakap, dan Merk sama sekali tak menaruh hormat pada mereka. Pun ia tak butuh pengakuan, lencana atau panji-panji atau jubah atau senjata seperti yang didambakan oleh para ksatria itu. Barang-barang semacam itu hanyalah untuk mereka yang tak punya sesuatu yang paling penting, yaitu: kemampuan untuk membunuh dengan cepat, tepat dan tenang. Dalam benaknya, tak ada lagi hal yang lebih penting.

Sewaktu kecil, ada beberapa kawannya yang terlalu lemah untuk membela diri, dan mereka menghadapi masalah; lalu mereka mendatangi Merk yang saat itu telah tenar karena keahliannya bermain pedang, dan Merk pun mendapat bayaran untuk membantu mereka. Para pengganggu kawan-kawannya itu tak pernah berani mengusik mereka lagi, sejak Merk menunjukkan keberaniannya. Kabar cepat tersebar tentang keberanian Merk; ia pun lebih sering disewa, dan kemampuan membunuhnya pun meningkat.

Merk bisa saja memilih menjadi seorang ksatria, seorang prajurit terkenal seperti saudara-saudaranya. Namun toh ia lebih memilih bekerja diam-diam semacam ini. Yang menarik baginya adalah bagaimana memenangi pertarungan, kecepatan membunuh lawan, dan ia segera tahu bahwa para ksatria itu, dengan senjata-senjatanya yang hebat dan baju zirah tebal, tak sampai separuh kemampuannya dalam hal kecepatan atau ketepatan membunuh lawan, sedangkan ia hanyalah seorang pria yang bertarung seorang diri, dengan baju kulit dan belati yang tajam.

Saat ia berjalan sembari menumpukan tongkatnya pada dedaunan, ia teringat suatu malam di sebuah kedai minum bersama saudara-saudara laki-lakinya, tatkala terjadi pertikaian dengan kstaria lawan. Saudaranya terkepung, kalah jumlah, dan saat para ksatria itu masih sibuk berbasa-basi sebelum bertarung, Merk tak mau berlama-lama. Ia melesak cepat dengan belati di tangannya dan menggorok leher semua lawannya, sebelum mereka sempat menghunus pedangnya.

Semestinya saudara-saudaranya berterima kasih padanya karena telah menyelamatkan nyawa mereka—namun mereka semua justru menjauhinya. Mereka takut akan dirinya, dan mereka meremehkan dirinya. Itulah ungkapan terima kasih yang ia dapatkan, dan pengkhianatan yang sangat melukai hati Merk lebih dari apa pun juga. Hal itu semakin membuat hubungan mereka renggang, ditambah dengan segala tetek bengek keningratan dan kesopansantunan. Di matanya, semua itu tak lebih dari kemunafikan, keegoisan; mereka kini mungkin dapat berjalan congkak dengan baju zirah yang mengkilap dan meremehkan dirinya, namun tanpa Merk dan belatinya, mereka pastilah telah terbujur kaku meregang nyawa di kedai minuman itu.

Merk terus berjalan, menghela nafas, berusaha melupakan masa lalunya. Dalam perenungannya, ia menyadari bahwa ia tak sepenuhnya tahu dari mana bakatnya itu berasal. Mungkin karena ia gesit dan tangkas; mungkin juga karena gerakan lengan dan tangannya sangat cepat; mungkin karena ia punya bakat istimewa untuk menemukan titik lemah di tubuh manusia; mungkin karena ia tak pernah ragu-ragu beraksi lebih berani, untuk melakukan tusukan pamungkas yang tak dapat dilakukan oleh orang lain; mungkin; mungkin karena ia melumpuhkan lawannya dalam sekali serang; atau mungkin karena ia mampu berimprovisasi, sanggup membunuh dengan senjata apa pun yang ia miliki—entah itu bulu ayam, palu, atau batang kayu tua. Ia jauh lebih terampil dari orang lain, lebih pandai menyesuaikan diri dan kakinya bergerak lebih cepat—sebuah kombinasi yang mematikan.

Seiring ia beranjak dewasa, semua ksatria angkuh itu makin menjauhinya, bahkan diam-diam mengejeknya (karena tak seorang pun dari mereka yang berani mengejeknya terang-terangan). Namun kini saat usia mereka tak lagi muda, ketika kekuatan mereka telah berkurang dan seiring namanya yang semakin tenar, ia adalah satu-satunya yang menjadi pasukan kerajaan, sementara semua saudaranya yang lain telah terlupakan. Ini semua lantaran para saudaranya itu tak memahami bahwa kesopansantunan tidak membuat seseorang layak menjadi raja. Alih-alih, yang menentukan adalah kekerasan yang berbahaya dan kejam, ketakutan, kemampuan menaklukkan lawan, dan sekaligus kemampuan membunuh yang mengerikan yang tidak dimiliki oleh orang lain. Dan saat tugas nyata sebagai seorang raja harus dituntaskan, kepada dirinyalah mereka menyerahkannya.

Dengan setiap jejakan tongkat pada dedaunan, Merk teringat akan setiap lawan yang dibunuhnya. Ia pernah membunuh musuh bebuyutan sang Raja—bukan dengan meracuninya—musuh yang pernah mereka coba tumpas dengan menyewa pembunuh bayaran, ahli pembuat racun, dan wanita penggoda. Musuh terbesar yang ingin mereka bunuh demi menyampaikan sebuah pesan, dan untuk itu, mereka membutuhkan bantuan Merk. Mereka menginginkan kematian yang mengerikan, yang dilihat oleh banyak orang: dengan belati yang menancap di bola matanya; dengan mayatnya yang tergeletak di pelataran terbuka, atau terjuntai di jendela, agar semua orang bisa melihatnya keesokan paginya, agar semua orang bertanya-tanya siapa gerangan yang berani melawan sang Raja.

Namun saat Raja Tarnis menyerah dan takluk pada Pandesia, Merk pun merasa pupus, dan untuk kali pertama ia merasa tak ada tujuan dalam hidupnya. Tanpa mengabdi pada sang Raja, ia merasa hidupnya terombang-ambing. Sesuatu yang telah lama bergejolak dalam dirinya kini muncul lagi, dan entah mengapa ia tak dapat memahami, betapa dirinya mulai mempertanyakan arti hidupnya. Seluruh hidupnya diisi oleh hasrat akan kematian, dorongan untuk membunuh dan mencabut nyawa lawannya. Hidupnya terasa demikian mudah—bahkan terlalu mudah. Namun kini, ada sesuatu dalam dirinya yang tengah berubah; seolah ia nyaris tak memiliki pijakan yang mantap dalam hidupnya. Ia sangat paham betapa rapuhnya hidup ini, betapa mudahnya hidup ini berakhir, namun kini ia mulai bertanya-tanya bagaimana mempertahankan hidupnya. Jika hidup demikian rapuh, bukankah mempertahankan hidup itu adalah tantangan yang jauh lebih berat daripada mengakhirinya?

Dan dalam hatinya, ia mulai bertanya: apakah hidup ini yang telah ia renggut dari lawan-lawannya?

Назад Дальше