Bangkitnya Para Naga - Морган Райс 7 стр.


Kyra berdiri di tengah-tengah jembatan yang penuh sesak; ia merasa semua mata tertuju padanya, dan semuanya menanti keputusan soal nasib babi hutan itu. Pipinya merah; ia tak suka menjadi pusat perhatian. Toh, ia senang ayahnya memberikan pengakuan padanya, dan ia merasakan kebanggaan yang amat besar, terlebih karena ayahnya menyerahkan keputusan itu pada dirinya.

Namun di saat yang sama, ia juga memikul tanggung jawab yang berat. Ia tahu, pilihan apa pun yang ia buat akan menetukan nasib orang lain. Sedalam apa pun kebenciannya pada pasukan Pandesia, ia tak ingin bertanggung jawab karena melibatkan bangsanya dalam sebuah perang yang tak dapat mereka menangkan. Tetapi ia pun tak ingin mundur dan membuat Pasukan Pengawal itu semakin besar kepala, semakin menjadi merendahkan bangsanya, membuat bangsanya terlihat lemah, apalagi setelah Anvin dan para prajurit yang lain menghadapi mereka dengan berani.

Ia tahu bahwa ayahnya sangat bijaksana; dengan menyerahkan keputusan itu pada dirinya, ayahnya membuat seolah keputusan itu merupakan keputusan mereka bersama, bukan keputusan para Pasukan Pengawal, dan tindakan itu sendiri telah menyelamatkan muka bangsanya. Ia juga mengerti bahwa ayahnya menyerahkan keputusan itu dengan satu alasan: ayahnya tahu bahwa situasi semacam ini memerlukan dukungan dari pihak luar benteng agar kehormatan semua pihak tetap terjaga—dan ayahnya memilih dirinya karena ia memang cocok, dan karena ayahnya tahu bahwa Kyra tak akan bertindak gegabah, dan karena kata-katanya yang sederhana. Semakin dalam ia memikirkannya, semakin pahamlah Kyra mengapa ayahnya memilih dirinya: bukan untuk memicu pecahnya pertempuran—ayahnya bisa saja memilih Anvin untuk membuat keputusan—namun untuk menghindarkan orang-orang ini dari pertempuran.

Kyra akhirnya menentukan keputusannya.

"Binatang ini terkutuk," ujarnya acuh. "Hampir saja ketiga saudaraku tewas olehnya. Babi hutan ini berasal dari Hutan Akasia dan dibunuh pada saat perayaan Bulan Musim Dingin, hari yang terlarang untuk berburu. Membawanya masuk ke gerbang itu adalah sebuah kesalahan—seharusnya kita membiarkannya membusuk di sana, di tempat asalnya."

Ia berpaling dan memandang para Pasukan Pengawal dengan tatapan mengejek.

"Bawalah babi hutan ini kepada Tuan Gubernur," kata Kyra sembari tersenyum. "Bantulah kami."

Para Pasukan Pengawal itu mengalihkan pandangan dari Kyra ke babi hutan itu, dan raut muka mereka pun berubah; mereka tampak merasa jijik, tak menginginkan babi hutan itu lagi.

Kyra melihat Anvin dan semua orang di situ memandangnya dengan ungkapan setuju dan bersyukur—dan ayahnya pun demikian. Kyra telah mengambil keputusannya—ia telah menyelamatkan muka bangsanya, menghindarkan mereka dari pertempuran—sekaligus berhasil memperolokkan Pandesia.

Kedua kakaknya menurunkan babi hutan yang dipanggulnya dan menggeletakkannya begitu saja di tanah bersalju. Mereka berdua mundur dengan malu-malu, dan bahu mereka jelas kesakitan.

Kini semua mata tertuju pada Pasukan Pengawal yang masih berdiri saja di situ, tak tahu apa yang harus mereka lakukan. Kata-kata Kyra jelas berhasil menohok mereka; kini para pengawal memandang babi hutan itu seakan serupa barang kotor yang baru saja digali dari dalam tanah. Jelas mereka tak lagi menginginkannya. Dan karena babi hutan itu sekarang menjadi milik mereka, maka mereka pun tampaknya telah kehilangan selera untuk mengambilnya.

Setelah kebisuan yang panjang dan menegangkan, komandan Pasukan Pengawal akhirnya memberi isyarat pada anak buahnya untuk mengangkut babi hutan itu, lalu ia berbalik, bersungut-sungut dan berlalu; ia jelas sangat kesal karena menyadari bahwa ia baru saja diakali.

Kerumunan bubar, ketegangan sirna dan kini kelegaan terasa. Banyak anak buah ayahnya yang mendekati Kyra dengan tatapan setuju, dan menepukkan tangan di bahunya.

"Selamat," kata Anvin sembari memandangnya tanda setuju. "Kau akan menjadi pemimpin yang hebat kelak."

Orang-orang desa kembali melanjutkan perjalanannya, hiruk pikuk kembali pecah, ketegangan berangsur reda dan Kyra berbalik lalu memandang ayahnya. Ayahnya pun menatapnya, ia berdiri tak jauh dari Kyra. Di depan anak buahnya, ayahnya selalu pendiam jika terkait soal Kyra, dan demikian pula saat ini—raut mukanya masih sama, namun ia mengagguk pelan pada Kyra, anggukan yang mengisyaratkan bahwa ia setuju dengan keputusan Kyra.

Kyra memandang ke sekeliling dan melihat Anvin serta Vidar menggenggam tombaknya, lalu jantungnya berdegup kencang.

"Bolehkah aku bergabung dengan kalian?" tanyanya pada Anvin karena tahu bahwa mereka akan pergi ke arena latih, seperti halnya seluruh anak buah ayahnya yang lain.

Anvin melirik gugup pada ayah Kyra, karena ia merasa bahwa sang ayah takkan mengizinkan.

"Salju makin tebal," akhirnya Anvin menjawab sekenanya. "Malam pun hampir tiba"

"Tetapi itu tak mengurungkan niat kalian," balas Kyra.

Anvin meringis.

"Benar, tidak," jawab Anvin mengakuinya.

Anvin melirik lagi pada ayah Kyra, dan Kyra menoleh lalu melihat ayahnya menggeleng sebelum ia berpaling dan kembali ke benteng.

Anvin menghela nafas.

"Mereka tengah menyiapkan pesta besar," katanya. "Lebih baik kau pulang."

Kyra pun mengetahui persiapan itu; udara dipenuhi aroma daging yang dipanggang, dan ia melihat kedua kakaknya masuk ke dalam benteng bersama dengan lusinan orang desa, semuanya bergegas mempersiapkan diri untuk pesta perayaan itu.

Namun Kyra berpaling dan menatap penuh harap ke tanah lapang, ke arena latihan itu.

"Makanan masih bisa menunggu," kata Kyra. "Tetapi latihan tidak bisa ditunda. Izinkan aku ikut."

Vidar tersenyum dan menggelengkan kepalanya.

"Kau yakin dirimu ini seorang gadis, bukannya seorang prajurit?" tanya Vidar.

"Atau mungkin aku bukan keduanya?" balas Kyra.

Anvin kembali menghela nafas panjang, dan akhirnya ia menggelengkan kepalanya juga.

"Ayahmu akan menghukumku," kata Anvin.

Namun, kemudian Anvin mengangguk.

"Kau tak suka ditolak," simpulnya, "dan kau tekadmu lebih kuat daripada separuh anak buahku. Kurasa kita bisa mencobanya sekali lagi."

*

Kyra berlari melintasi tanah bersalju, mengikuti Anvin, Vidar, dan beberapa anak buah ayahnya, serta Leo di sampingnya, seperti biasanya. Salju turun makin tebal dan Kyra tak peduli. Ia merasakan kebebasan dan kegembiraan, seperti yang ia rasakan saat memasuki Gerbang Petarung, sebuah pintu masuk rendah berbentuk melengkung yang menembus dinding batu di arena latihan itu. Ia menarik nafas dalam-dalam di bawah langit luas dan ia berlari ke tempat yang paling ia sukai di dunia; deretan perbukitan hijaunya kini berselimut salju, dikelilingi oleh dinding batu yang menjulang, mungkin selebar dan setinggi dua ratus depa. Ia merasa segala sesuatu telah berjalan seperti semestinya saat melihat para prajurit itu berlatih, berseliweran memacu kudanya, melentingkan lembing, membidik sasaran yang jauh dan meningkatkan kemampuan bertarungnya. Baginya, inilah arti hidup yang sesungguhnya.

Arena latihan itu dibuat untuk para anak buah ayahnya; perempuan dan laki-laki yang belum genap delapan belas tahun umurnya—serta orang-orang yang tak diundang. tak diperbolehkan masuk ke situ. Tiap hari, Brandon dan Braxton menanti dengan sabar agar diundang masuk ke arena itu—namun Kyra rasa mereka berdua tak pernah diundang. Gerbang Petarung adalah tempat untuk para prajurit terhormat dan berpengalaman, bukan untuk pembual macam kedua kakaknya.

Kyra berlari melintasi arena terbuka, ia merasa jauh lebih bahagia dan lebih bersemangat di tempat itu daripada di tempat lain mana pun di muka bumi ini. Energi di tempat itu terasa amat kuat, terpancar dari lusinan prajurit terbaik ayahnya; mereka semua mengenakan baju zirah yang sedikit berbeda, lantaran mereka berasal dari berbagai wilayah di Escalon; mereka semua adalah para prajurit yang bagai tersedot oleh benteng ayahnya itu. Mereka adalah para prajurit dari wilayah selatan, dari Thebus dan Leptis; dari Midland, dan kebanyakan dari ibu kota, Andros, namun ada juga para prajurit dari gunung Kos, prajurit-prajurit wilayah barat dari Ur, orang-orang sungai dari Thusis dan tetangga mereka dari Esephus. Ada pula para prajurit yang tinggal dekat dengan Danau Ire, dan mereka yang berasal dari tempat yang jauh, seperti dari air terjun Everfall. Mereka semua mengenakan pakaian dan baju zirah yang berbeda, memegang senjata yang berbeda; mereka adalah para prajurit Escalon yang mewakili kesatuannya masing-masing. Mereka merupakan sebuah kekuatan yang mengagumkan.

Ayahnya, prajurit terbaik yang pernah mengabdi pada mantan Raja, adalah seorang pemimpin yang disegani, satu-satunya pria di masa-masa keruntuhan kejayaan kerajaan, yang dipatuhi oleh begitu banyak pasukan. Dan memang, saat Sang Raja menyerahkan kerajaannya tanpa syarat, bangsanya mendesak agar ayahnyalah yang melanjutkan tahta kerajaan dan memimpin perang. Seiring waktu, para prajurit terbaik lainnya mencari ayahnya, dan kini, dengan kekuatan yang semakin besar hari demi hari, Volis telah memiliki kekuatan yang nyaris seimbang dengan pasukan di ibu kota. Kyra tahu, mungkin karena itulah para Pasukan Pengawal merasa perlu merendahkan mereka semua.

Di tempat lain di Escalon, Tuan Gubernur untuk Pandesia tidak mengizinkan para ksatria berkumpul, tidak memberikan kebebasan semacam itu karena khawatir akan pecah perlawanan. Namun di sini, di Volis, keadaannya berbeda. Di sini, Pandesia tak punya pilihan; mereka harus mengizinkannya, karena mereka membutuhkan pasukan sebaik mungkin untuk menjaga Benteng Api.

Kyra berbalik dan memandang ke sekitar, di luar dinding, di balik deretan perbukitan putih dan di kejauhan, di kaki langit, menembus salju yang turun, meski samar-samar ia dapat melihat pendar cahaya Benteng Api. Benteng Api, dinding api yang melindungi tapal batas di timur Escalon, dinding api setebal lima puluh kaki dan beberapa ratus kaki tingginya, menyala sangat terang, menerangi malam, siluetnya terlihat di kaki langit dan tampak makin jelas seiring malam tiba. Benteng Api yang membentang hampir lima puluh mil luasnya adalah satu-satunya bangunan yang terletak di antara Escalon dan tanah bangsa troll yang keji di sebelah timur.

Namun demikian, banyak troll mencoba menerobos masuk membawa malapetaka tiap tahun, dan jika bukan karena Sang Penjaga, para prajurit pemberani anak buah ayahnya yang menjaga Benteng Api, Escalon niscaya akan menjadi budak bagi para troll. Para troll yang takut air hanya dapat menyerang Escalon lewat daratan, dan Benteng Api adalah satu-satunya yang mampu menahan mereka. Sang Penjaga bertugas bergantian, berkeliling melakukan patroli, dan Pandesia jelas membutuhkan mereka. Sebenarnya ada juga orang-orang lain yang berada di Benteng Api—para serdadu aplusan, budak, dan para penjahat—namun pasukan yang sesungguhnya hanyalah anak buah ayahnya, Sang Penjaga, dan satu-satunya pasukan yang tahu bagaimana cara menjaga Benteng Api.

Sebagai imbalannya, Pandesia memberikan sedikit kebebasan bagi Volis dan para prajuritnya, seperti arena latihan dan senjata-senjata yang sesungguhnya—sedikit kebebasan yang membuat mereka masih merasa menjadi seperti prajurit yang merdeka, meskipun semua itu hanyalah ilusi belaka. Mereka bukanlah orang-orang yang merdeka, dan mereka semua menyadarinya. Mereka hidup dengan keseimbangan yang aneh antara kebebasan dan perbudakan yang tak dapat mereka terima.

Tapi setidaknya, di sini di Gerbang Petarung, para prajurit ini dapat menjadi orang merdeka seperti dahulu kala, para prajurit yang dapat bersaing dan berlatih serta menempa kemampuannya. Mereka adalah wakil-wakil terbaik Escalon, para prajurit yang lebih hebat daripada seluruh prajurit yang dimiliki oleh Pandesia; mereka semua adalah para prajurit yang pernah bertugas—dan seluruh pasukan lain—di Benteng Api; namun kini masa itu telah berlalu. Yang diinginkan Kyra hanyalah agar dapat bergabung dengan pasukan itu, dapat membuktikan kemampuannya untuk bertugas di Benteng Api, untuk bertempur melawan troll yang sebenarnya jika mereka datang, dan untuk menjaga kerajaan dari serbuan musuh.

Tentu saja ia tahu bahwa ia takkan pernah mendapatkan izin. Ia masih terlalu muda untuk bergabung bersama mereka—dan ia adalah seorang gadis. Tak ada gadis lain di dalam pasukan itu, dan jika ada, maka ayahnya tak akan pernah mengizinkannya. Anak buah ayahnya pun memandang dirinya sebagai seorang anak kecil saat ia pertama kali datang ke arena latihan beberapa tahun yang lalu; mereka kegirangan melihat keberadaannya, seperti penonton yang terpesona. Namun setelah para pasukan itu selesai, ia tinggal di sana seorang diri, berlatih siang dan malam arena latihan yang sepi, memakai senjata dan sasaran mereka. Awalnya, ketika datang kembali keesokan harinya, mereka terkejut melihat anak panah yang menancap pada sasaran latihan—dan lebih kagum lagi karena anak panah itu menancap tepat di tengah-tengah sasaran. Namun seiring berjalannya waktu, mereka menjadi terbiasa dengan hal itu.

Kemampuan Kyra mulai diperhitungkan dan dihargai, terlebih karena jarang-jarang ia diizinkan berlatih di arena itu. Kini, dua tahun kemudian, mereka semua tahu bahwa Kyra mampu membidik sasaran yang tak mampu mereka taklukkan—dan mereka yang dulunya memandang Kyra sebelah mata, kini berubah menjadi menghormatinya. Tentu saja, Kyra belum pernah bertempur dalam perang seperti yang pernah dilakukan oleh para prajurit ini; Kyra pun belum pernah membunuh seseorang, belum pernah berjaga di Benteng Api atau berhadapan dengan troll di medan perang. Ia tak dapat mengayunkan pedang atau kapak atau halberd -tombak bermata kapak-, atau bergulat seperti yang dilakukan oleh para prajurit ini. Kekuatan badannya tak sampai separuh kekuatan mereka, dan inilah yang sangat ia sesalkan.

Namun Kyra tahu bahwa ia memiliki kemampuan alamiah dalam menggunakan dua jenis senjata, dan masing-masing senjata itu membuatnya menjadi lawan yang tangguh meskipun ia adalah seorang gadis dan tubuhnya mungil, yaitu busur panah dan tongkat. Busur panah ia kuasai sejak kecil, sedangkan ia baru saja mahir menggunakan tongkat beberapa bulan yang lalu secara tak sengaja, ketika ia tak mampu mengangkat sebuah pedang besar. Waktu itu, para prajurit menertawakan dirinya yang tak mampu mengangkat pedang besar itu, dan untuk mengejeknya, salah seorang dari mereka melemparkan sebuah tongkat padanya dengan penuh cemooh.

"Siapa tahu kau bisa mengangkat tongkat ini," seru prajurit itu ditimpali gelak tawa para prajurit yang lain. Kyra tak pernah lupa betapa malunya ia saat itu.

Awalnya, mereka menganggap tongkat itu sebagai ejekan belaka; toh tongkat semacam itu hanya digunakan sebagai senjata latih bagi mereka, para pemberani yang membawa pedang besar dan kapak dan tombak bermata kapak, yang mampu menumbangkan sebatang pohon dengan sekali tebas. Mereka menganggap tongkat kayu itu sekadar sebuah mainan, dan itu membuat Kyra semakin diremehkan.

Назад Дальше