Namun Kyra telah mengubah mainan itu menjadi sebuah senjata ampuh, sebuah senjata yang mengerikan. Tongkat itu menjadi sebuah senjata yang membuat banyak anak buah ayahnya bertekuk lutut. Kyra sangat kagum akan betapa ringannya tongkat itu, dan ia lebih kagum lagi menyadari betapa dirinya dapat menguasainya secara alami—begitu cepat gerakannya sehingga ia dapat mendaratkan pukulan saat para prajurit itu bahkan belum selesai menghunus pedangnya. Dengan tongkat itu, banyak prajurit yang berlatih dengannya harus berakhir dengan lebam-lebam di tubuhnya, dan sekaligus ia berhasil mendapatkan kembali rasa hormat mereka.
Setelah berlatih seorang diri tanpa henti, meningkatkan kemampuannya tanpa seorang pelatih, Kyra berhasil menguasai banyak gerakan yang mampu memukau para prajurit itu, gerakan-gerakan yang tak dipahami oleh satu pun dari mereka. Mereka pun tertarik pada tongkat itu, dan Kyra lantas mengajari mereka. Dalam benak Kyra, busur dan tongkat itu saling melengkapi, dan masing-masing sama pentingnya: ia membutuhkan busur panah untuk pertarungan jarak jauh, dan tongkat itu ia butuhkan untuk pertarungan jarak dekat.
Kyra juga menyadari betapa ia memiliki bakat alami yang tak mereka miliki: ia sangatlah gesit. Ia bagaikan seekor ikan kecil di lautan yang dipenuhi oleh hiu-hiu yang lamban, dan meskipun para pria kawakan itu memiliki kekuatan yang besar, Kyra dapat bergerak lincah ke sana kemari, ia dapat melompat tinggi, berjungkir balik melampaui kepala mereka dan mendarat dengan berguling—atau mendarat dengan kedua kakinya. Dan ketika kegesitannya ini berpadu dengan teknik bermain tongkat, hasilnya adalah sebuah paduan yang mematikan.
"Apa yang dilakukannya di sini?" tanya seseorang dengan suara kasar.
Kyra, yang berdiri di tepi arena latihan di sebelah Anvin dan Vira, mendengar derap kuda yang mendekat; lalu ia berbalik dan melihat Maltren berkendara di atas kudanya, disertai oleh beberapa kawannya sesama prajurit dengan nafas yang masih terengah-engah akibat pedang yang mereka bawa, karena mereka baru saja berlatih di arena itu juga. Maltren memandangnya dengan hina, dan Kyra pun merasa muak. Di antara sekian banyak anak buah ayahnya, Maltren adalah satu-satunya prajurit yang tak menyukai dirinya. Entah karena alasan apa, ia membenci Kyra sejak pertama kali melihat dirinya.
Maltren duduk di atas pelana kudanya dengan emosi yang mendidih; dengan hidung pesek dan mukanya yang buruk, ia cocok sekali menjadi seorang pembenci, dan tampaknya ia menemukan mangsanya, yaitu Kyra. Ia selalu menentang keberadaan Kyra di arena latihan ini, mungkin lantaran Kyra adalah seorang gadis.
"Kau seharusnya kembali ke dalam benteng ayahmu, mempersiapkan pesta perayaan bersama dengan gadis-gadis muda yang bebal lainnya" kata Maltren.
Di sebelah Kyra, Leo menggeram pada Maltren, lalu Kyra mengeluskan tangannya pada kepala Leo untuk menenangkannya.
"Dan mengapa serigala ini boleh masuk ke arena latihan kita?" imbuh Maltren.
Anvin dan Vidar yang memihak Kyra menatap Maltren dengan dingin dan tajam; Kyra masih berdiri di situ dan tersenyum saja, karena tahu bahwa mereka berdua akan membelanya dan Maltren takkan dapat mengusirnya dari situ.
"Rasanya kau harus kembali ke arena latihan, bukannya sibuk mengurusi gadis muda dan bebal yang keluar-masuk di sini," balas Kyra dengan nada mengejek.
Maltren meradang, namun tak dapat membalas. Ia berpaling, bersiap hendak pergi, namun tak lupa untuk menghina Kyra lagi sebelum berlalu.
"Hari ini adalah latihan tombak," katanya. "Sebaiknya kau menyingkir dari para pria sejati yang berlatih menggunakan senjata yang sebenarnya."
Maltren berpaling dan memacu kudanya bersama dengan kawan-kawannya, dan setelah ia berlalu, Kyra merasa bahwa kesenangannya di sini sempat terganggu oleh kedatangan Maltren.
Anvin memandangnya dengan tatapan menenagkan dan merangkul bahunya.
"Pelajaran pertama bagi seorang prajurit adalah belajar hidup bersama orang yang membencinya," ujarnya. "Suka tak suka, kau akan bertempur bersama orang-orang yang membencimu, dan menggantungkan nyawamu pada mereka. Seringkali, musuh terbesar bukanlah lawanmu, melainkan kawanmu."
"Dan mereka yang banyak bicara biasanya tak pandai bertarung," sahut seseorang.
Kyra membalikkan badan dan dilihatnya Arthfael datang dengan senyum menyeringai, membelanya seperti biasanya. Seperti Anvin dan Vidar, Arthfael -seorang prajurit pemberani yang bertubuh tinggi, dengan kepala pelontos dan jenggot hitam yang panjang dan kaku ini- selalu bersikap baik pada Kyra. Ia adalah salah satu ahli pedang terbaik, nyaris tak tertandingi, dan ia selalu membela Kyra. Kyra merasa senang akan kehadirannya.
"Begini," imbuh Arthfael. "Jika Maltren adalah seorang prajurit yang hebat, maka ia akan lebih banyak mengurus urusannya sendiri daripada sibuk mengurus orang lain."
Anvin, Vidar dan Arthfael naik ke atas kuda mereka masing-masing lalu berlalu bersama para prajurit yang lain, sementara Kyra masih berdiri di situ memandang mereka berlalu, sembari berpikir. Mengapa seseorang harus membenci orang lain? begitulah ia bertanya-tanya. Ia tak pernah dapat memahami jawaban dari pertanyaan itu.
Tatkala mereka berpacu mengelilingi arena latihan membentuk sebuah lingkaran lebar, Kyra mengamati kuda-kuda perang yang hebat itu dengan penuh rasa kagum, dan ia membayangkan suatu saat nanti ia akan menunggangi kuda perangnya sendiri. Kyra memandangi mereka yang berkuda berkeliling arena, berpacu di sekeliling dinding batunya, dan kaki-kaki kuda itu kadang-kadang terpeleset oleh salju. Mereka menangkap tombak yang dilemparkan oleh para pelayan latihan, dan sembari berkuda mengitari arena, mereka melontarkan tombak itu menuju sasaran yang jauh letaknya, yaitu perisai-perisai yang tergantung di dahan pohon. Ketika tombak itu mengenai sasaran, bunyi denting logam beradu terdengar bertalu.
Ia rasa melempar tombak sambil berkuda itu jauh lebih sulit daripada yang ia lihat, dan lemparan tombak beberapa dari prajurit itu meleset, terlebih saat mereka membidik sasaran berupa perisai yang lebih kecil ukurannya. Bagi mereka yang berhasil mengenai sasaran, hanya sedikit yang lemparannya berhasil menancap tepat di tengah—kecuali Anvin, Vidar, Arthfael dan segelintir prajurit yang lainnya. Ia melihat betapa Maltren berulang kali gagal mengenai sasaran, lantas mengumpat diam-diam sambil melirik padanya, seolah-olah itu semua adalah salah Kyra.
Agar badannya tetap hangat, Kyra mengeluarkan tongkatnya lalu mulai memutar dan mengayunkan tongkat itu dengan tangannya, melewati atas kepala, mengitari tubuhnya, meliuk dan berputar seolah tongkat itu bernyawa. Ia memukul musuh khayalannya, menangkis serangan khayalan, berganti tangan untuk memegang tongkat, memutarnya mengitari leher, mengitari pinggangnya; tongkat itu bagai tangannya yang ke-tiga, tongkat yang terbuat dari kayu yang amat tua.
Saat para prajurit itu berkuda mengitari arena latihan, Kyra berlari menuju arena latihannya sendiri, sebidang tanah lapang kosong kecil di dalam arena latihan, yang tak pernah dipakai oleh para prajurit itu, namun merupakan sebidang tanah yang ia sukai sebagai tempat berlatih. Beberapa lempeng baja digantung dengan tali pada serumpun pepohonan, tersebar dengan ketinggian yang berbeda-beda, dan
Kyra berlari sambil membayangkan bahwa sasaran itu adalah musuh-musuhnya, lalu memukulnya satu persatu menggunakan tongkat. Bunyi berdenting terdengar saat ia berlari menuju pepohonan itu, membabat, meliuk dan melesak saat sasaran-sasaran itu berayun-ayun kembali ke arahnya. Dalam benaknya, ia tengah menyerang dan bertahan dengan hebat, menaklukkan sepasukan musuh khayalannya.
"Berhasil membunuh musuh?" terdengar suara mengejek.
Kyra membalikkan badan dan melihat Maltren di atas kudanya, ia tertawa mencemooh Kyra, sebelum berlalu lagi. Kyra naik pitam, berharap ada seseorang yang menyadarkan Maltren akan kemampuannya sendiri.
Kyra beristirahat sejenak saat melihat para prajurit itu selesai berlatih dengan tombaknya, lalu mereka turun dari kuda dan berkumpul dalam lingkaran di tengah lapangan terbuka. Pelayan latihan berlari maju dan memberikan pedang-pedang latih yang terbuat dari kayu ek keras, beratnya nyaris sama dengan pedang baja. Kyra tetap berdiri di kejauhan; jantungnya berdegup kencang saat melihat para prajurit itu saling berlatih berpasangan; ia sangat ingin ikut berlatih bersama mereka.
Sebelum mulai latihan itu, Anvin berjalan ke tengah lingkaran dan memandang mereka semua.
"Di hari besar ini, kita akan berlatih untuk memperebutkan hadiah istimewa," kata Anvin. "Para pemenang akan mendapatkan jatah makanan terbanyak dalam pesta!"
Teriakan girang pun bersahutan, lalu mereka mulai berlatih berpasang-pasangan, bunyi pedang kayu yang saling beradu terdengar nyaring, seiring dengan langkah mereka merangsek maju dan mundur teratur.
Latihan berpasangan itu diselingi oleh tiupan terompet yang nyaring, yang dibunyikan setiap kali seorang lawan latihan terkena pukulan pedang kayu, lalu ia yang kalah harus menyingkir ke tepi arena. Terompet itu berbunyi berulang kali, dan lambat laun jumlah prajurit yang tersisa pun semakin berkurang; sebagian besar dari mereka kini berdiri di tepi arena, menyaksikan kawannya yang masih bertanding.
Kyra pun berdiri di sisi arena bersama mereka, gemas ingin ikut berlatih, meskipun ia tentu takkan diizinkan. Namun hari ini adalah hari kelahirannya, usianya telah menginjak lima belas tahun, dan ia merasa dirinya telah siap. Ia merasa inilah saat baginya untuk unjuk kemampuan.
"Izinkan aku ikut latihan!" ia memohon pada Anvin yang berdiri di dekatnya sambil menyaksikan latihan itu.
Anvin menggelengkan kepala tanpa sedikitpun memalingkan pandangan dari arena latihan.
"Hari ini usiaku genap lima belas tahun!" Kyra bersikeras. "Izinkan aku bertanding!"
Anvin melirik sekilas padanya dengan ragu.
"Ini adalah arena latihan untuk para pria," sahut Maltren yang berdiri di tepi arena setelah kalah bertanding. "Bukan untuk gadis kecil. Kau duduk dan menonton saja bersama pelayan latihan, dan bawakan air jika kami memintanya."
Kyra meradang.
"Apakah kau takut dikalahkan oleh seorang gadis?" balas Kyra yang berdiri penuh amarah. Ia adalah anak perempuan ayahnya, dan tak ada yang boleh bicara sembarangan padanya seperti itu.
Beberapa prajurit terkekeh mendengarnya, dan kali ini giliran muka Maltren yang merah padam.
"Ia punya kemampuan, mungkin kita perlu mengizinkannya ikut latihan," sahut Vidar. "Apa salahnya dicoba?"
"Berlatih menggunakan apa?" balas Maltren.
"Dengan tongkatku!" sambar Kyra. "Melawan pedang kayumu."
Maltren tertawa.
"Ini pasti akan jadi tontonan menarik," kata Maltren.
Semua mata tertuju pada Anvin, sementara Anvin masih berdiri menimbang-nimbang.
"Jika kau terluka, ayahmu akan membunuhku," kata Anvin.
"Aku takkan terluka," Kyra memohon.
Anvin terdiam beberapa saat lamanya, hingga akhirnya menghela nafasnya.
"Kurasa tak ada salahnya dicoba," kata Anvin. "Anggap saja ini demi membuatmu berhenti merengek. Tentu saja jika para prajurit ini tidak keberatan," imbuh Anvin sambil menoleh ke arah para prajurit.
"AYE!" teriak selusin anak buah ayahnya bersamaan, mereka semua bersemangat mendukung Kyra. Kyra sangat senang mereka mendukung dirinya, hingga tak dapat ia lukiskan betapa senang dirinya. Ia melihat betapa mereka mengagumi dirinya, sama halnya seperti mereka mencintai ayahnya. Kyra tak punya banyak teman, dan para prajurit ini adalah orang-orang yang sangat berarti dalam hidupnya.
Maltren mencemooh.
"Kalau begitu, biarlah gadis ini mempermalukan dirinya sendiri," kata Maltren. "Akan kuberi pelajaran padanya sekali ini dan untuk selamanya."
Terompet dibunyikan, dan setelah para prajurit lain berdiri melingkar, Kyra masuk ke dalam arena.
Kyra merasa semua pandangan mata tertuju padanya, tampak jelas mereka khawatir. Ia berhadapan dengan lawannya, seorang pria jangkung berumur tiga puluhan dengan badannya yang kekar, seorang prajurit kuat yang telah ia kenal sejak ia perayaan ulang tahun ayahnya di balairung benteng. Sejauh yang dapat ia lihat, ia tahu bahwa pria ini adalah petarung yang baik—namun juga petarung yang kelewat percaya diri, menyerang terlalu cepat sejak awal pertempuran, dan agak ceroboh.
Ia memandang Anvin, mukanya merengut.
"Hinaan macam apa pula ini?" tanya Maltren. "Aku tak mau melawan seorang gadis."
"Kau mempermalukan dirimu sendiri jika takut bertarung melawanku," balas Kyra geram. "Aku punya dua tangan dan dua kaki, sama sepertimu. Jika kau tak mau bertarung melawanku, maka mengakulah kalah!"
Maltren berkedip, terkejut, lalu memandang padanya dengan marah.
"Baiklah kalau begitu," kata Maltren. "Jangan mengadu pada ayahmu jika nanti kau kalah."
Maltren maju secepat kilat, tepat seperti dugaan Kyra; Maltren mengangkat pedangnya tinggi-tinggi lalu menebaskannya kuat-kuat, mengincar bahu Kyra. Kyra telah siap dengan gerakan semacam itu, gerakan yang telah sering ia lihat dilakukan oleh Maltren, gerakan yang mudah ditebak dari ayunan lengannya. Pedang kayu yang dipegang Marlet memang sangat kuat, namun sekaligus berat dan kalah gesit dari tongkat Kyra.
Kyra mengamati tiap gerakan Maltren dengan cermat, menunggu saat yang tepat, dan ia melangkah ke samping, sehingga tebasan yang kuat itu berkelebat di sampingnya saja. Dalam satu gerakan, Kyra memutar tongkatnya dan memukulkannya di sisi bahu Maltren.
Maltren mengerang karena ia terdorong ke luar arena. Ia berdiri di situ, tertegun dan kesal karena ia harus mengakui kekalahannya.
"Ada lagi lainnya? tanya Kyra sembari tersenyum lebar, ia putar badannya dan memandang semua orang yang berdiri melingkar di tepi arena.
Hampir semua prajurit di situ tersenyum; mereka jelas bangga pada dirinya, bangga melihat Kyra telah tumbuh besar dan telah mencapai titik ini. Kecuali Maltren, tentunya, yang merengut marah padanya. Sepertinya ia hendak menantang Kyra lagi, ketika tiba-tiba seorang prajurit lain muncul, menghadapinya dengan tatap mata serius. Pria ini lebih pendek dan lebih gempal, dengan jenggot kemerahan yang tak bercukur dan sorot mata yang ganas. Dari caranya memegang pedang, Kyra tahu bahwa pria ini adalah lawan yang lebih berat daripada Maltren. Ia menganggapnya sebagai sebuah pujian: akhirnya mereka mulai memperhitungkan kemampuan Kyra dengan sungguh-sungguh.
Pria itu menyerang, dan Kyra tak mengerti entah mengapa seolah gerakan yang harus ia lakukan terasa sangat mudah. Seakan-akan nalurinya bangkit dan memandu dirinya. Ia merasa badannya jauh lebih ringan dan lebih gesit dari para pria itu, yang mengenakan baju zirah berat dan pedang kayu yang besar. Mereka semua bertarung dengan mengandalkan kekuatan, dan mereka berharap lawannya akan melawan dan menangkis serangan mereka. Namun Kyra lebih senang mengelak menghindarinya, dan ia tak mau mengikuti pola pertarungan mereka. Mereka mengandalkan kekuatan—namun Kyra lebih mengandalkan kecepatan.