Tongkat itu bergerak kian kemari seolah menjadi perpanjangan tangan Kyra; ia memutarnya dengan cepat hingga lawannya tak sempat bereaksi, lawannya belum selesai bergerak sedangkan Kyra telah berpindah ke belakangnya. Lawannya kali ini menerjang ke arah dadanya—namun ia hanya perlu melangkah ke samping dan mengayunkan tongkat, memukul pergelangan tangan lawannya dan membuat pedang terpental dari genggamannya. Kemudian Kyra memutar tongkatnya lagi dan memukul kepala pria itu.
Terompet dibunyikan tanda kemenangan baginya, dan pria itu menatap Kyra dengan terkesima, sembari memegangi keningnya yang terpukul, sedangkan pedangnya tergeletak saja di tanah. Kyra sendiri agak terkejut saat melihat akibat dari serangannya, sedangkan ia tak sedikitpun terluka.
Kyra justru menjadi lawan tanding yang sulit ditaklukkan, dan kini, para prajurit itu tak ragu-ragu lagi, mereka mengantri untuk menguji kemampuannya melawan Kyra.
Badai salju datang saat obor-obor dinyalakan untuk menerangi senja yang tiba, dan Kyra masih terus berlatih, bertanding melawan seorang demi seorang dari para prajurit itu. Mereka tak dapat tersenyum lagi: raut muka mereka berubah serius, kusut, dan sangat kesal karena tak ada yang mampu menyentuh Kyra barang sedikit pun—dan mereka masing-masing berhasil dikalahkan. Saat melawan seorang dari mereka, ia melompat melewati kepalanya sambil berlari, berguling di udara dan mendarat di belakang badan prajurit itu, lalu memukul bahunya; dengan lawan yang lain lagi, ia merunduk dan bergulung di tanah, tangannya kirinya bergantian memegang tongkat dan ia mendaratkan pukullan telak yang tak terduga. Ia melakukan gerakan yang berbeda-beda untuk masing-masing lawan; separuh dirinya bagai pemain akrobat, dan separuh lainnya bagai ahli pedang, sehingga tak satu pun lawan dapat menerka serangannya. Satu persatu prajurit tersingkir dengan malu, masing-masing terkesima karena harus mengakui kekalahannya.